Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang
diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman,
Abah Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat “iyyaka na’budu….”. Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui
kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan “wa iyyaka nasta’in….”
Banyak di antara jamaah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
“Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus
berakar”, berkata Abah Latif seusai wirid bersama, “Mengucapkan
kata-kata itu dalam Al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang
nyata dalam kehidupan. Harus di situ titik beratnya bukan sebagai
aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak
bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu”.
“Astaghfimllah, astaghfirullah”, geremang turut menangis mulut parasantri.
“Jadi, anak-anakku”, beliau melanjutkan, “apa akar dan pijakan kita dalam rnengucapkan kepada Allah iyyaka na’budu?”
“Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan
merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?” bertanya seorang santri.
“Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan”.
“Belum jelas benar bagiku, Abah”.
“Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan
mengucapkan kenyataan”. “Astaghfirullah, astaghfirullah”, geremang mulut
para santri terhenti ucapannya. Dan Abah Latif meneruskan, “Sekarang
ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka na’budu.
Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu
kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na’budu”.
“Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian
sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah.
Ketika sampai di kalimat na’budu, tingkat yang harus kita capai
telah lebih dari ‘abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang
dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di
mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan.
Mengucapkan iyyaka na’budu dalam shalat mustilah memiliki
akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah
tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan
lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa
mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata
tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?”
“Astaghfirullah, astaghfirullah”, geremang mulut para santri.
“Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling
menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita
akan sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta’in,
kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong
kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita
meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal
kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme
yang pada hakekatnya melawan Allah”.
“Astaghfirullah, astaghfirullah”, gemeremang para santri.
“Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di
sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung
dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku
kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa
menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya
diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja
pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya!”
sumur : http://www.caknun.com
Menangis
Senin, Maret 23, 2015
/