Selasa, 28 April 2015

Semut ireng

https://aaimz.files.wordpress.com/2009/12/semut.jpgDangdanggula
Semut ireng anak-anak sapi
Kebo bongkang nyabrang kali bengawan
Keong kondhang jarak sungute
Timun wuku ron wolu
Surabaya geger kepati
Gegering wong nguyak macan
Cinandak wadahi bumbung
Alun-alun Kartasura
Gajah meta cinancang wit sidoguri
Mati cineker pitik trondol.
Sudah banyak terjemahan bebas mengenai langgam tersebut. Di sini, saya mencoba mengartikannya per baris dengan terjemahan versi saya, secara bebas, adalah sebagai berikut :
Semut ireng anak-anak sapi
Maknanya adalah semut hitam, kaum mayoritas namun berukuran kecil, sebagai rakyat jelata yang dari mereka akan terlahir sapi, sebagai sosok kaum kelas tinggi, elit dan bangsawan. Dalal langgam ini akan diberikan tips dan trik bagaimana agar sosok semut ireng, yakni rakyat jelata di negeri kita ini dapat melahirkan kaum pemimpin/pemerintah
Kebo bongkang nyabrang kali bengawan
Seorang putra rakyat jelata dapat menjadi pemimpin jika sosok kebo bongkang alias kerbau yang besar itu mampu menyeberangi bengawan atau sungai. Maksudnya, ketika putra rakyat jelata tersebut mampu memanfaatkan tekhnologi untuk melakukan sesuatu hal yang dirasa mustahil.
Keong kondhang jarak sungute
Sudah jelas bagi kita, bahwa keong itu memiliki jarak pandang yang terbatas. Namun jika sosok rakyat jelata mampu melihat jauh ke depan, tidak berkutat pada hal yang berjangka pendek saja, tidak mustahil jika rakyat tersebut bisa menjadi pemimpin.
Timun wuku ron wolu
Sebagian menggunakan kalimat “Timun Wuku Gotong Wolu”, ada juga yang “Godhong wolu” dan lain sebagainya. Maknanya adalah seorang rakyat jelata dapat menjadi hebat jika mampu menjalin persatuan dan kesatuan, sehingga membentuk sebuah kelompok yang kuat dan siap menopang beban yang berat.
Surabaya geger kepati
Ini mengisahkan perihal kondisi sebuah kota yang berada dalam keributan dan kekisruhan. Bahkan, dikarenakan keributan tersebut banyak nyawa yang melayang.
Gegering wong nguyak macan
Keributan tersebut tak ubahnya keributan orang yang mengejar harimau, maknanya adalah orang yang mengejar dan mencari pemimpinnya.
Cinandak wadahi bumbung
Kemudian, setelah pemimpin tersebut ditangkap, kemudian dimasukkan ke dalam penjara.
Alun-alun Kartasura
Ini mengisahkan fakta yang terjadi pada pemerintahan pusat. Sebagaimana saat itu, kartasura menjadi pusat pemerintahan
Gajah meta cinancang wit sidoguri
Ada yang menggunakan kalimat “Gajah meto cinancang ing tembe buri”. maknanya, ada sosok pendobrak dan pembaharu, yakni gajah, yang tidak bisa berkutik di pemerintahan, bahkan terkekang di posisi yang tidak seharusnya, alias pemerintah tidak menangkap potensinya.
Mati cineker pitik trondol.
Ada yang hanya menggunakan kalimat “Patine cineker ayam”. Sosok gajah lama kelamaan akan mati oleh ulah sosok ayam, sosok tukang ribut yang hanya bisa mengobrak abrik suasana, sombong dan suka membusungkan dada, serta suka mengadu domba. Bahkan ayam inilah yang akan mendapat perhatian dari pemerintahan, serta akan mendapatkan kebebasan, bukan terkekang sebagaimana sang gajah

Kafir Politis

 • 

Misalnya begini: sepanjang seseorang masih mandi dan makan tiap hari, maka ia tak bisa disebut sebagai kafir dalam arti total. Orang mandi, ightisal alias membersihkan diri sendiri, berarti melaksanakan amanat atau perintah Allah untuk menjaga kebersihan badan. Bahwa di luar itu otaknya, perilakunya, perusahaan atau jabatannya, belum di-ghusl atau belum dibersihkan — di situlah barangkali letak fungsi kufurnya. Tetapi tindakan memandikan badan sendiri itu adalah pekerjaan kemusliman.
Demikian juga sepanjang orang masih makan dan minum, maka ia masih memiliki eksistensi kemusliman, karena makan dan minum adalah memenuhi kehendak Tuhan agar hamba-hamba-Nya bersetia kepada kehidupan, antara lain dengan menjaga kesehatan.
Jadi menurut cara berpikir ini, hampir tak ada orang yang seratus persen dikategorikan sebagai orang kafir. Apalagi orang yang meskipun tidak bersyahadat, tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan haji; biasanya masih berbuat baik kepada anak istrinya, mencintai mereka, mencarikan nafkah, dan sebagainya.
Maka tidak bisa saya bayangkan bahwa ada orang yang sehari-harinya masih mandi, makan, menafkahi keluarganya, bertetangga baik-baik dan santun kepada orang banyak — bisa pada suatu sore kita tuding sebagai kafir, lantas kita halalkan darahnya, atau minimal kita personanongrata-kan dan kita kucilkan.
Dalam konteks keilahian dan keagamaan saja pun tak bisa saya bayangkan terjadi pengkafiran semacam itu. Apalagi dalam konteks yang lebih duniawi dan pada tataran yang lebih lemah dan relatif kriteria nilai-nilainya — umpamanya dunia politik.
Kalau mulut kekuasaan politik di suatu Negara menuding seseorang “Kamu tidak bersih lingkungan”, di kepala saya muncul berjilid-jilid buku yang menguraikan beribu-ribu pertanyaan dan kegelisahan. Dari pertanyaan dan kegelisahan yang berkonteks politik praktis, keanehan budaya kekuasaan, sampai yang berkonteks filosofis, etimologis, atau bahkan ideologis dan teologis.
Di dalam perspektif nilai akidah dan hukum agama saja pun term “kafir”, “musyrik”, “munafik”, “muslim” atau “mukmin”, tetap terbatasnya maknanya oleh konteks-konteks dalam ruang dan waktu, di mana suatu peristiwa dan perilaku berlangsung. Kalau ada pedagang agama Isalam menipu pembeli beragama Budha, tidak bisa kita katakana “orang muslim menipu orang kafir”. Perbuatan menipu itu adalah kekufuran, sehingga tidak bisa membuat kita mengatakan bahwa dalam kasus penipuan itu si penipu adalah muslim. Kalau seseorang menipu, maka dalam dunia ruang dan waktu penipuan itu si penipu adalah kafir.
Maka sesungguhnya kalau kita berpikir jujur, di dalam kehidupan sosial masyarakat kita, kata “kafir”, “muslim”, “munafik”, “musyrik”, dan seterusnya itu selama berabad-abad mengalami pengorbanan-pengorbanan yang sungguh-sungguh tidak kecil dan tidak sepele. Mengalami distorsi, pembiasan, pembelokan, bahkan pembalikan arti. Dan kalau pembangkangan makna sebiji kata itu berada di genggaman tangan seseorang atau sekelompok manusia yang memiliki kekuasaan tak terbatas — memiliki ribuan senapan dan prajurit — maka peristiwa-peristiwa besar sejarah yang tragis berlangsung berdasarkan sulutan yang sebenarnya amat sepele.
Ratusan ribu orang bisa tertumpas nyawanya berkat satu kata yang dipelesetkan maknanya. Puluhan ribu orang terpuruk nasibnya ke dalam kegelapan ekonomi dan politik, hanya oleh pembiasan kata “pembangunan” misalnya. Jutaan lainnya bisa kehilangan tanah, kehilangan sawah, kehilangan nafkah, kehilangan kios jualan, kehlangan pekerjaan, kehilangan lingkungan pergaulan, atau bahkan meringkuk di dalam sel-sel sempit berdinding batu tebal dingin — hanya oleh pembangkangan sekelompok manusia terhadap perjanjian murni arti sebuah kata.
Jika pemelesetan makna kata itu sekadar merupakan kasus kebodohan, maka kita hanya bersedih dan menangis. Tetapi kalau pemelesetan itu justru disadari — bahkan didayagunakan untuk rekayasa-rekayasa kekuasaan — maka mungkin seseorang akan hanya menghadapi dua kemungkinan. Pertama, diam, menyerah, dan hancur. Kedua,  berang, marah, melawan, dan mati.
Jadi, secara keseluruhan kita sedang berhadapan dengan tiga masalah besar. Pertama, siapakah atau pihak manakah di dalam sejarah, yang disepakati sebagai berwenang untuk menentukan makna sebuah kata? Kedua, dalam sebuah sistem politik yang berlaku, adalah institusi hukum atau lembaga kebudayaan yang memiliki otoritas dan kewibawaan untuk mengontrol subyektivisme kekuasaan yang seringkali memaknakan kata “bersih”, “PKI”, “balela”, “subversif”, dan seterusnya seenaknya sendiri dari sudut kepentingan kelompoknya — yang apalagi dibungkus di dalam jargon kepentingan umum? Ketiga, berapa dekade sejarah diperlukan untuk menyembuhkan situasi di mana — setidaknya sebagian — kekuasaan yang melakukan pembangkangan kata itu justru secara mantab dan kusyuk merasa bahwa yang dilakukannya itulah paling benar?
Ataukah pertanyaan-pertanyaan semacam yang saya ajukan ini justru dianggap sebagai “cacat politik” atau bahkan “kafir politis”?

sumur : https://www.caknun.com/

Catatan Kecil dari Sinau Kedaulatan

caknunprayfull
Ada catatan kecil dari pergelaran Sinau Kedaulatan bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Universitas Diponegoro, Semarang, tanggal 15 April 2015 lalu. Catatan ini bisa jadi tidak penting. Tapi bisa jadi penting juga. Tidak penting karena sebenarnya itu kejadian yang biasa saja, sangat lazim terjadi dalam kultur masyarakat kita. Namun menjadi penting karena kami ingin menyandingkan untuk lalu membandingkannya dengan pemberitaan media yang, menurut kami, lebay.
Pergelaran berlangsung di Auditoriom Soedarto, indoor dan diselimuti penyejuk ruangan. Nyaris semua personil Kiai Kanjeng dan Cak Nun sendiri adalah perokok, bisa dibilang lumayan berat. Tapi pergelaran yang berlangsung berjam-jam itu berlangsung tanpa satu personil pun yang merokok di panggung.
Seperti ditulis oleh Rusdi Mathari di blognya, Cak Nun beberapa kali ke belakang panggung untuk merokok. Begitu pun dengan para personil Kiai Kanjeng. Mereka menghormati hadirin dan siapapun yang berada di situ yang tidak merokok. Kalau mereka ingin merokok, ya ke belakang panggung.
Kami kemudian teringat pemberitaan tentang perokok penumpang KRL yang diingatkan satpam. Dia marah, lalu memukuli si satpam. Beritanya lumayan heboh. Ahok, gubernur DKI yang sangat sibuk itu pun sampai menyempatkan diri ikut berkomentar. Perokok di Indonesia sudah dalam taraf candu sehingga mereka akan lebih galak daripada pihak yang menegur, begitu Ahok.
Kami tidak ingin menganalisa yang rumit-rumit, toh sebenarnya akal sehat kita sudah bisa menilai. Kami hanya ingin menyegarkan kembali ingatan kita pada tanyangan Kick Andy tentang Gus Mus. Waktu itu Gus Mus ditanya, “Sesudah Gus Dur meninggal banyak orang khawatir pluralisme di Indonesia terancam, akibatnya dikhawatirkan juga akan muncul banyak konflik, dan ujungnya Indonesia bercerai-berai. Apakah kekhawtiran itu berlebihan?”
Gus Mus menjawab, “Saya kira berlebihan, tetapi bisa beralasan juga.” Dia menjelaskan lebih lanjut, Gus Dur yang kelihatan muncul di permukaan, sehingga ketika tidak ada Gus Dur seperti tidak ada, tidak kelihatan. Padalah yang seperti Gus Dur banyak sekali di Indonesia ini. Di desa-desa juga masih biasa saja, pergaulan dengan sesama bangsa biasa saja. “Cuma orang itu yang dilihat kota saja,” kata Gus Mus.
Akan lebih banyak, jauh lebih banyak, orang yang masih tetap ingin ber-Bhinneka Tunggal Ika dibanding yang tidak. “Pers kan tidak pernah menayangkan orang-orang di desa, misalnya mereka berdoa bersama, segala agama, kadang di klenteng, kadang di masjid, kadang di gereja, kadang dimana-mana,” tegasnya



sumur : http://komunitaskretek.or.id/editorial/

Kesunyian Pohon Keabadian

15396_862694350462317_204247202845884477_n
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
(Bangunlah, bangunlah
Tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau bagaikan pengantin baru)
Langit gelap, tiada satu pun bintang di langit. Hanya baling-baling berlampu warna-warni milik para pedagang atau anak-anak petani yang sesekali meluncur di udara. Setelah sampai puncaknya, baling-baling itu mengikuti tarikan daya gravitasi bumi, berputar perlahan-lahan, menghiasi langit dan sebentar menggugah kegembiraan, lalu tergeletak di tanah.
Sesekali pula baling-baling turun bersama gerimis yang masih jatuh di sini, di alun-alun Temanggung. Tapi gerimis jatuh pada malam 3 April 2015 itu merupakan gerimis di ujung musim penghujan.
Suara tongkeret telah bernyanyian dan pranatamangsa dari alam sudah memberi petunjuk musim kemarau segera datang. Tanda bagi petani di Temanggung untuk menanam tembakau.
Semakin banyak orang merapat, samakin banyak tikar-tikar dihamparkan. Hanya segelintir saja yang berdiri dan masih menggunakan payung,  dan itu di bagian paling jauh dari panggung, barangkali agar mereka dapat melihat panggung secara lebih leluasa.
Lagu “Lir-ilir” gubahan Sunan Kalijaga yang dinyanyikan Kiai Kanjeng membuka acara selamatan jelang musim tanam tembakau. “Semoga musim bagus, semoga harga bagus, dan kesejahteraan mengalir ke rumah-rumah petani,” begitu suara terdengar dari pengeras suara.
Sing ana nang kene cuma atimu karo Gusti Allah… omahmu tinggalen sik, utang-utang tinggalen sik,” kata Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang berada di panggung, yang tak ingin menjadi pusat perhatian. Kemudian ia menambahkan, “ojo delok aku, eling Gusti Allah, eling Rasullulah, sing jaga koe, sing jaga tanah-tanahmu.”
Di depan layar raksasa, di sisi sebelah kiri panggung, terlihat seorang ibu berkerudung duduk bersila di atas tikar dengan tiga orang anak kecil. Mereka saling merapat supaya bisa saling menghangatkan, dan menatap layar yang menampilkan keadaan di panggung secara langsung.
Wajah-wajah tertunduk, tangan-tangan kekar oleh kerja olah ladang bersendakap. Sebagian besar dari peserta selamatan ini ialah petani tembakau yang turun dari desa-desa di gunung Sindoro, Sumbing, dan Prahu. Tiga gunung yang di lereng-lerengnya tumbuh subur pohon tembakau, bahkan menghasilkan tembakau srinthil, jenis tembakau yang digunakan sebagai bumbu kretek dan berharga mahal.
“Tembakau itu biasa disebut mbako’, dari kata dalam bahasa Arab baqa’ artinya abadi, tembakau itu pohon keabadian. Teruslah menanam tembakau, suburkan ladang-ladangmu,” kata Cak Nun.
Sorak-sorak terdengar, juga rasa syukur dari mereka yang menghadiri acara selamatan sekaligus Sinau Kedaulatan bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng.
Cak Nun mempersilakan di antara peserta untuk menyampaikan uneg-unegnya dan berdialog dengannya.
Subakir, seorang petani tembakau dari desa Lamuk, yang terletak di lereng tenggara gunung Sumbing, menyampaikan kegelisahannya. Menurutnya, regulasi yang mengatur tentang hasil buminya tidak berpihak kepada petani. Pintu impor dibuka, padahal tembakau yang dihasilkan di ladang-ladang petani di daerahnya merupakan yang terbaik di dunia. Bahkan dari barang olahan hasil buminya diberi peringatan bisa “membunuh”.
Cak Nun menempatkan diri ibarat seorang sahabat, ia membesarkan hati para petani tembakau yang sedang mengalami kesulitan. Kebebanan karena dari hasil buminya dianggap merusak kesehatan dan di”haram”kan untuk dikonsumsi oleh kalangan tertentu.
Ia mengatakan jika peraturan sudah tidak adil menempatkan tembakau. Harusnya, katanya, jika rokok diberi peringatan berbahaya dan bisa membunuh, barang-barang lain juga diberi peringatan. Gula diberi peringatan dapat menyebabkan penyakit gula, knalpot juga diberi peringatan dapat membunuh lebih cepat dari rokok.
Dari pengeras suara Subakir terdengar lagi, ia meminta izin kepada Cak Nun untuk diperbolehkan merokok. “Emange aku ki Gusti Allah kok ngelarang-ngelarang koe ngerokok?” jawab Cak Nun.
Gelak tawa terdengar.
Cak Nun lantas menjelaskan dalam konteks yang lebih luas dari persoalan yang dihadapi petani tembakau. Jika semua yang terjadi pada tembakau karena bangsa-bangsa lain tak suka dengan tembakau yang dihasilkan bangsa kita.
Ora mungkin Gusti Allah nyiptane sesuatu sing elek, sing ana dielek-elekne.” Tembakau yang dihasilkan petani-petani bangsa kita ini yang terbaik di dunia, itu yang membuat buta (raksasa) Amerika memeranginya dan raksasa-raksasa dari Jakarta takut dan mengeluarkan peraturan yang mencekik leher petani.
Ia meminta Sabrang, anaknya yang dikenal sebagai vokalis Letto, membantu menerangkan persoalan. Sabrang memberi contoh produk-produk yang dahulu menjadi keunggulan bangsa Indonesia seperti koprah, lalu kemudian ada kampanye dari luar yang menyatakan minyak koprah berbahaya bagi kesehatan. Banyak orang kemudian percaya, dan beralih ke minyak sawit yang diproduksi bangsa luar. Setelah budidaya koprah itu hancur, sekarang terbukti sebagai minyak koprah ternyata baik untuk kesehatan.
Cak Nun nenambahkan penjelasan dari segi kesehatan. Menurutnya, sebenarnya Rasulullah telah membekali ilmu tertinggi tentang kesehatan manusia dari sabdanya: “makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang”.
Sesuatu apa pun itu jika berlebihan memang merusak. Ia bertanya kepada Sabrang “Sabrang, Sabrang, coba koe mangan sego sak truk...”
Tidak ada siapa pun yang berhak mengatakan baik atau buruk bagi kesehatan manusia, sebab setiap individu bisa merasakan dan mempertimbangkan sendiri dirinya sehat atau tidak.
Ia menjelaskan fungsi lidah yang seringkali hanya digunakan sebagai fungsi kuliner, kegunaan lain lidah sebagai pendeteksi kesehatan acapkali dilupakan. Dari lidahnya, setiap manusia bisa merasakan makanan baik atau tidak untuk tubuhnya, jika merasakan tidak enak ya nggak perlu diteruskan.
Begitu pun bila orang merokok, jika merokoknya sudah membuat lidah terasa tak enak maka berhentilah dahulu, makan atau minum, kemudian merokok lagi nanti.
Ia kemudian menawarkan kepada peserta untuk bernyanyi lagi. Tapi sebuah ide tiba-tiba muncul dari Kiai Mbeling itu, ia menawarkan untuk menyanyikan lagu daerah Jawa Tengah, Gugur Gunung.
Tapi supaya lebih pas, katanya, satu kata dalam lirik lagu Gugur Gunung diubah “mulyaning negara” menjadi “mulyaning para buta” yang menerbitkan aturan-aturan yang mempersulit nasib petani.
Satu nama disebutnya, yang saya lupa mengingat dan sepertinya pencipta lagu Gugur Gunung, dan meminta maaf atas keusilannya mengganti lirik kali ini.
Alat-alat musik ditabuh oleh kelompok Kiai Kanjeng. Para petani tembakau mengikuti suara Cak Nun yang bernyanyi.
ayo ayo kanca kanca
ngayahi karnaying praja
kene kene kene kene
gugur gunung tandang gawe
sayuk sayuk rukun bebarengan ro kancane
lila lan legawa kanggo mulyaning “para buta”

siji loro telu papat
maju papat papat
diulang-ulangake mesthi enggal rampunge
holopis kontul baris
holopis kontul baris
Di malam itu, ia terus membesarkan hati, membangkitkan keberanian dan semangat bekerja lebih keras lagi, juga rasa syukur kepada Sang Pencipta atas setiap hasil bumi para petani.
Cak Nun meminta untuk siapa saja yang ada di alun-alun untuk berdiri dan bersama membaca Shalawat Indal Qiyam.
Wajah-wajah menunduk, seolah berharap pada kekuatan yang lebih besar, dan beberapa mata terlihat telah sembap dan tak mampu membendung airmata.
Ia mencoba menenangkan mereka yang terhanyut dalam khusuk shalawat, dan memberi harapan: sepuluh tahun lagi akan ada perubahan besar di negeri ini. Ia lalu mengajak untuk menegadahkan tangan dan berdoa bersama.
“Ya Allah, engkau tidak main-main menciptakan tumbuh-tumbuhan bagi kehidupan manusia. Engkau tidak main-main menciptakan dan menumbuhkan tembakau dan menjadikan rezeki bagi para petani.”
Dan kemudian, “Dan barang siapa mempermainkan tembakau dan nasib petani, mereka akan mendapat murka-Mu. Barangsiapa bermain-main dengan nasib orang banyak, meraka akan mendapat azab-Mu.”



sumur : http://komunitaskretek.or.id/

Senin, 27 April 2015

Aku Mabuk Allah

http://i.ytimg.com/vi/7-NgsQ4R7xk/hqdefault.jpgaku mabuk Allah
semata-mata Allah
segala-galanya Aallah
tak bisa lain lagi
aku mabuk Allah
lainnya tak berhak dimabuki
lainnya palsu, lainnya tiada
nyamuk tak nyamuk
kalau tak mengabarkan Allah
langit tak langit
kalau tak menandakan Allah
debu tak debu
badai tak badai
kalau tak membuktikan Allah
kembang tang mekar
api tak membakar
kalau tak Allah
mabuklah alu mabuk Allah
tak bisa lihat tak bisa dengar
cuma Allah cuma Allah
kalau matahari memancar
siapa sebenarnya yang menyinar
kalau malam legam
siapa hadir di kegelapan
kalau punggung ditikam
siapa merasa kesakitan
mabuklah aku mabuk Allah
kalau jantung berdegup
siapa yang hidup
kalau menetes puisi
siapa yang abadi
Allah semata
Allah semata
lainnya dusta
1986

Apa Kabarmu Indonesia

http://jogjanews.com/uploads/post/cak-nun-hadir-lagi-di-dunia-teater-melalui-fragmen-tafakur-anjing1.jpgapa kabarmu Indonesia…
masihkah kau secantik yang dilukiskan para seniman dalam mahakaryanya
jelita, anggun, serta segala pesona
apa kabarmu Indonesia…
masihkah kau tangkas, pemberani, serta bijak dalam menghadapi setiap permasalahan seperi yang diceritakan seorang temanku dalam novelnya
yang menempatkanmu sebagai tokoh protagonis
yang selalu menyanjungmu dalam tiap-tiap kalimatnya
apa kabarmu Indonesia…
apa benar kau seperti yang dikumandangkan para penyair yang selalu menggemborkanmu sebagai “negeri gemah ripah loh jinawe, toto tentrem, kertoraharjo”
atau …
kau seperti yang kusaksikan dalam setiap info “seputar Indonesia”????
apa kabarmu Indonesia….

Aku dan Tuhanku

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRj4gLgXuyWO7Q6_GY4NnhqiE8Zgyrn0IGU2DZsQQ3N0-DzyycCTuhan
maafkanlah aku
jikalau aku lalai akan segala perintahmu
bahkan aku asik bermain-main dengan laranganmu
Tuhan
maafkanlah aku
jika kitab sucimu hanya tergeletak diatas lemari
sedang aku sibuk dengan diktat-diktat barat yang kuanggap suci
Tuhan
maafkanlah aku
jika aku tak kenal dengan nama-nama indahmu
sedang aku asik menghafal nama-nama yang menjadi bahan gosip
Tuhan
maafkanlah aku
jika doa salatpun aku tak hafal
sedang aku asik menghafal rumus-rumus matematika,kimia,fisika dan semacamnya
Tuhan
maafkanlah aku
jika zakat dan sadakah tak pernah aku lakukan
sedang aku asik menghambur-hamburkan harta untuk hal yang tak berguna
Tuhan
aku yakin
kau “ALIMAN”

SAJAK ATAS NAMA

data:image/jpeg;base64,/9j/4AAQSkZJRgABAQAAAQABAAD/2wCEAAkGBxQTERUUEhQVFhUXGBgYGBgYGBQXHBUVFRQXFhgaGBcYHSggGBolHBUXITEhJykrLi4uGB8zODMsNygtLiwBCgoKDg0OGhAQGiwkICQsLCwsLCwsLCwsLCwsLCwsLCwsLCwsLCwsLCwsLCwsLCwsLCwsLCwsLCwsLDcsLCw3N//AABEIANUA7QMBIgACEQEDEQH/xAAcAAABBQEBAQAAAAAAAAAAAAAAAQQFBgcDAgj/xAA8EAABAwIEBAQEBAUEAgMBAAABAAIDBBEFEiExBkFRYRMicYEHMpGhQmKxwRQjUnLRM+Hw8UOCY5KyFv/EABkBAQADAQEAAAAAAAAAAAAAAAABAgMEBf/EACcRAQEAAgICAQQABwAAAAAAAAABAhEDIRIxQQQjMlETIjNxobHB/9oADAMBAAIRAxEAPwDD0IQgEIQgEIQgEIQgEIQgEIQgEIQgEIQgEoT7B8HnqpPDp4nyvtfK0X06k7Batwh8EnSRiSukdETtEzKSB+Z3I76BBjZSL6Vp/g1hjRrHK89TI4fYJviXwVw9w/leLEeoeXfZyD5yQtJ4m+EFVBd0DhUM6DyvHtzWd1FO5ji17XNcNw4EEexUbNOSEIUgQhCAQhCAQhCBUiVIgEIQgEIQgEIQgEIQgEIQgEIQgEBCUBB9IfA3AWwYe2aw8Wc5nHS/hi4YPTn7rSQq5wjT5KaAGwLYmCw0AswaKxgpjU3oqRyAVznfYKbUGlVYDuVmXxF4bp6xjnABk7flkA3/ACvtuO6tXENZPqIyG/r7nZUHFcdnALHBu+ug/UbrDy3em8w67YzPEWOLXCzgSCO4XNPsb/15O5v9QmK2YBCEIBCEIBCEIBCEIBCEIBCEIBCEIBCEIBCEIBCEIFVm4Q4WkqXtebsha4EyEXByuGg13OyrIWv8KUjo8PY5j7+N4R1uQA2Sz2gdbhZ8ufhjttw8fnV6pcQcD5pSGjloLDkNOynqOuDmgia47H9Vl3ELaxkrslMZYydy8jNa2mmyjMMrqiOdrWRyR5nC8bzprvZ5XDjMrPKX/LvuONvj/wAbe6WT8L/rYqLxDFZmjXKfYj9FQMa40qIJTGGAG27nW+nIpabi6RzD4uUkb5XNcPspuXJZ1/tWcWEurqpHFeL2tNntI6kai3eyqmN4lHK27SOg6gJvilXHMXFmh6dFC/xsYORwv1cPwnrdacVvyz5sZj+Kp4lJmlce/wCibKSx6iEUpDXZgQHD3UauyenDQhCFKAhCEAhCEAhCEAhCEAhCEAhCEAhCEAhKEWQIhKu8NHI75GPcPytcf0CDgFqvw8rM9AYj+GUtDv6cwzDTnqSqVhHBddUm0NLKdbZnNLAPUustKwPguroKYtqGxWdIHgsfmObLYNIIGyx+om8K3+my1yJuTh+aUZ5HucbbiTKBb8jrAexTnAOF5S8eNLniacwaSHG4Ftxy91X211TVvFPGcgBHiON9Gg/uu8PxDlge+Kph8MsJa02IDmjQEX9OS4MJbO3pZ79Sm/FHD7RM974i5jj5Mp+U82uHQhQdXw9E9too3QybiwIDrd+qnZuNmytDY4iJS4WvsRfbuCEYnWwOgLo3ujdY+UOda/TLy1SZZY9LeGNnanv4fdCx0tRm20be2Y3/ABKDvmJ0sOnr0CkcTrnvaGucSB1UNIbdgN+66uPfy5eWY/DhizgQOoNvZRa61EuY3XJdOM1HDnlvLYQhCsoEIQgEIQgEIQgEIQgEIQgEISoESosnuEYXLUzMhgYXyPNgB9yTyA6oONHSvle1kbXPe42a1oLiT2AWu8K/A+R4D66Xwxv4cervRz9h7LQPh3wBDhsYJAkqXDzyW+X8rOg091c3OsR0/RSK7gXAdBSgeFTMzf1v/mOPu69vZWFkbWjytaPQAfougXIOu7sEo6lQvFsQdSSdWjMPUf8AamFGcTUzpaWZjNXOYco6u5KMpvGxON1lKyrxZ3eamLGaed7xc3A00G9k3xyGqkp7TCOobpYh3maeoB2+qmIstMckvl0uex/FdQmIYM10hfT1nhtdqWG7g0ne1jsvLxtwysr2sbjlNqlDWtjkbmY4Fjgb+h2snGJSXeXjZ/mU7U0EETb3Ej+Zdrc9gq64jVxB7BXlmXcUynj1synjsLnf/KhcXG2W9ufr0Vqlpf5WZ34tfbkE0noWnU6f4XVhPlxcmVvpS0KSraAaln0KjiFu5CIQhAIQhAIQhAIQhAIQhAIQhAJUiVAALffgRwx4MP8AFyD+ZOCI/wAsTefq4/YLE+HsMdU1MMDRcySNb6AkZj7C6+tLNg8KMCzGhrGkaBpDbNB9QE+CRIt3SyjQppLWBls3ync9F2a/NsUlHSR9hdJC2wXKTUhdxsnyl6avJKR0tlybJf329QiGV8bYcZpJog7LKxxfE4c2u1IPZZzDWyBzmStGZpsdLG/stb+JsGV8M7NyCD7fust4xmvJHK0WLgWvP5ht+pXPni6+PLTxLUi2g1TbDGOnmy/gb5nntyA9VHeI6Q5RcnorrSUIihbC21zrI7q462CrMdVplns0xF2ZzQB5Qfr/ALJjXtJ0HZS8cFyTyGgUXVHzOtryHqrxjYZYfh3jTMiZu4gX6X3J9Fp2IfCSjkgDWl7JQP8AVG5P5m7EdlF/DTDQKjUXyAOcepJuAtalfr6WV4yyj5P4p4bmoZjFMO7HDZ7b6Ef4UKV9O8ecPx1tOYjYPOsbv6Xjn2B2K+aa6ldFI6ORpa9hLXA8iFeXalmnBCEKUBCEIBCEoQIhKhAiVCEAhAClOHcDlrKhkEAu9/0a3m49AFA0T4DYJmnkq3Dyx2jZ/e8+Yj0AH1W247TF8b2je1x2LdQfYqM4bwWGgpGQMu4M1cQLl7yblxspeDE4pNA8AjkdD7qL60tP2a0kglp2OPMa+o3+91IUxTHDYcniR8g9xb/a6zh+p+ia1lY5j2RA3JcNejb8/oo9dp1vpMM1K7OOy5wM5r2d1eK14e3mdlyzjcctdei6Su5JmWNNwfr2VbUyKz8R23p2kbB9welxr9wspxGH+IjEbGku3JAJsQf+1tmP4f8AxNO9jT0t6g/4VAjjEQyNbYC+w+5VLdNcVcwjARE4Fw0GpvuSpeQXvyXqZ1zquUztNFX20NKl4a02TSjphbMeX/6K7TNvoOqc1LMrQz6+qkWf4cttmcR88mp6BrCVf2gu12vsP3KqfAEQ8Bg3c5z3EdBoB9grk1wubHbc/t7K0Y5e0ZJHeU3+VoDR6/M79liXxqwxjaiOoZa8gyvH5mbH3GnstfmrgBI6Mgvc4tZ0ufmcT/S0C91mPxApxNh80rNWxSxsYebrA53e5ddRjdUs6ZEhKUi1ZBCEIBKkCVAIQhAIQhQJnhLh2WvqWU8O7tS47MaN3FfTHC/B9Nh0bY4W3cfnkdbO825nkOwWGfBzE5qeva6OJ8kcg8OXK0nK06g32FjYr6SnkGxBsdiNVPQbnDWh2ZuYHsTr6ppjGDRy+a5Y8fibbXs4HdSBqr6C1+68lxIsQPqVXpaWq03xYW2c+7t9O37JnPUl1VC/Nlbclw6kNI9hchP+J3lo01OU6fRU/Apy/wAWR+5cG+jQBp9dfZZ/Om2Pc20yTEo4m3c4E8gNV6jrg5ufa/XcKjwnxHtYBuQPbmp+Z2uUKblVfCHzJXSO6NH3Tp8WwGy500NgngNm3UztS1zJA0GwWfcU0+Sd/R2o91eRMPdV/i6AOa1w5aH6quXa2HtS5Wc00lClJI9E3ip8xURs5UFNrmOzdffkvLqYvdbmTYe5U+KTLGB1XrD6X+bHcbG/01UqrZhflY2KNrWgCxI3sNL3THG6t0hFLTg66PcN7HvyUphsDvB0IDnXLifwgk/supjZDFaMhpdu87nqSrM/lVsRw4uP8LE6xy/znj8DOUbPzE7qC+JEcdPhraVmzj6nTUk97q3xZXXZCbRi5kk5uPM36qm4/CyV0tRIP5FOw2B2c7KQxvdxcQfQKIm9sHQlukWrEIQhAqEIKAQhFkAnmE4c+omZDE3NJI4NaO55+gGvsmll9FfCHgSOmgjqpWk1MjLi/wD42P2AHUjc90Fq4X4Sio6RkDLkt1c7YvedybbqTa4s0y6et/qn7jZMa25+U5XjVp5OHQqMonEyqIn2zNOYfcH2TWLF3sNntB6X0SvxNxu0gMeNDbQqLrpBIPNoR+IEj69VlttJv298R1IlZmj0dl1G/wBFUuGKNz45sly9hDrdWHQ/eyhanipj5/Apy51iWukOg0NjlHP1Vh4VrPAqWu2DvK70P+4ClPx0sfDlE7WV4I0IaD33KlqWOxzPUhiI0uNj9imlOy+h1UWdqb32fQPzbbLjiMtyGBOm2a1RebM8lWy6iuM3dklYS4WbtzG1u6jcaa54/KBe3dWCIWFlGygOky6kaqvpeXtTHNvou1IwA7aDn1TivoHNebbXT/Bqa17jcc1MWNZ5xoF6w+7pRYaNBJPsns2ERyHm08iF6p6IUzHuc7N0uLWvzPdSbS8eQND3HSwtbnYfdN46EzuMk4Ij/CzUZu5ty7KRoaeNjGN3ytAF9ff1TiZoO7vQBTIz3pEVcDpB4UQDIxvbQLM/ifiLfDbTQ6Rsd5iPxvA1J+oWn49VlkRZG3zO77dysn44wR9omRi7skkju5zhQt8MeKF7mHmPqf1XhaMQhCECoQhQBAQlAQXv4P8ACwra8GQXhgAlf+YhwyNPYkXt2X04GrNPgDhfh4c6YjWeRxv+WPyD2uCtMKtBzL7bpnUtzsOTdpuOxG6dSPb8pO/XRQWLymKVpabX0KplVsZs0xCUPYCf9QfcDcFUL4j4r4FPdrrPl8rR9Mx9gVKcb8WxUL252ue54c5rW2221J21WazVkmIziZ4DWRjKxu+XrrzKpJ8tLfgnBeHlr2XGrnX9Byut3qeGIxSOEbbyWD83Mka2WZcP0FpWW6hbdhkl2dxor9VXL+VE4LKKmFpzkEWDx1I/RS8dO1os0KvupXUtTnA/kvcAfy5tr9rqwTOsDYX/AHSK1GYtVZdAvOHQkNLi0i/6JpNTvJLnD/noujK9wFtyNz1We/2vro9lfYEhR1G0l5Pb9V3lqPEFgNemy5xwlt81wTt7JSdDEYhZNYXafZe5bk6pGNUrQ8YGhvNQfENY3IWk2bsT26p/K+wN1n3GGKGzgO6DYKSFojblJcA0AHqAN1ymcdm+Qnna/wD0mnDxf4THjRpY3fn5QpKaUdL/ANtyrs57VyejmY4u+frr/lV7io3dE/VlmvbY8/M02CuM2Lxg26dTY/QqCxp8Ezoi8kNbe+l733tYqq/d9vnHG4stRIPzE/XVMVb/AIoVdNJXEUgAjYxrCRzeL5lUFoyvsIQhEFQEoK9AKB5svQRZemMJ0A1Og9Tt91I+l/gziBlw2EBmVkbSy/8AW5riHEK/KtcBYeykoIIA5uZrLu1HzO8x+5Vke+wup3DRhXzsFmuuLmwuLa8tVCYhI0ZzK4AMGa7joOVyVEcU4wXPsHWY0gnoMut7rKOP+NDU3hhcTH+N+v8AMI5f2rK9tJ0jPiNj7K2sDob5GNEbTtn11IHIXKu/BWDRCKJrza/zH1WQtNjf/mmq2z4dy+KwXpZngC18jg3XoTYK3wjG99tNw3h2mjs5jLnk4m/0T5jC19xsd/XqoJs8lHGXua90QBNtHFg6EXUfTfEKnfo5wb/cC377KPKQ8bVxq4A9rmHZwt/hcGEhgB3Gh9hZNKLHY3gEOBHUG/6LtX1Tct2EFx0sNdVPlL6R42e3iWXMQAuNfhjzqwAEcxz9QnOHYfl8zz5unRPxUt/qCjx37PLXpVYpPNY6OClSRK3K7R3J3dd8Rw2KYb5XDZzdx69VGR4ZKw+WVjx3Nio1pbe3J5cx2V41/XuEhka3UmyeyeZuWZvo4G9vQhRk+Eh5tGXyetgPqoWnaD4ixVxAZA0uc42CZ4X8PZ5J2vrHsyXu5gNyRuBpoAVecDwAx3e/LnOxGpa3seqmmwgb3J6my0kUyyJDFawB0AsANgOQRJTM5tH/AD0XrwRyUPi2ORxODRZz+Yv8vqpulZLa94vQRubdzMw+pHpzVJ4goGyEGlmGZrLCEjfmfN1KfYrxnJGQHBmR4da17kDSxuqpxNijIaT+KiIubNaBykPLqLWuqWfppNydsgxthFRLcEHObg6EG+oITFOa+rfLI6SQ5nvN3HqU3V2REJUiAsvYXXIkMRCBGuVl4Ewsz1LTbyR+Zx78go/h7AJat+WMWA+Z5Byt9+Z7LbuFOHGUsQazXmXHdx6lc/1HN4zU9un6fh8r5X0m6CMMZ2HoozHuLxTRODzcEGw535BvqpuVuizr4g4J4ssT5ZQyAXB11zX/AFXJ9Pv+JJt1c2rhbpQse4hlqjY+VhPyD8X93VOMB4Rkn8z7xstobDM49geSufD2CUbDeEhzzzc67vYH/CsBhIXpvNqIwXBI6YMyMYXt/G5jXEm976rQMI4vaSI6gBhOgePk9Hf0H7KrtC8ytHPZShp9XEHxPbuHMcPUFvJfPE0BBI9j6habgGNvpyGOu6E7D+j+09OymZuDKKRt2RlubzXa52pcbnc91FIxNhLDdhc0/lJClaDiqojPz5v7xf77q3Vvw7Jc4RTAG+geNxy1Cr2JcCVkeoiLx1Z5v91TUtXlsTtB8RAABOSwHQndv31H1VpocWZK28Tmu73uP8rCcYa+B4LwWkcntNj2Ida650XEJheHxtyH/wCN5aD/AOuoWWWGW94tMcsb+TQ+POKZo5mwxHKAA55F9c2wUnwdiUlRAXS/MHuaD/UBbX72WeYlxc2pcHyQAvAAJzEXttcAclb+A8ea+OXM4AsINhYNDSNAFly43w3fbbhs8+k/V4h4W5UVU8YNaSA8bdVAfEPG2Flo3i5NtCDtudFmZmJO5197rPi4be7W/LzY49afQVJ8QS9jQW5SG+Z+99bDL7DmnjuKW+GTE8GS2mY8++qxrDKgmJt9NLEeisfB0kZnBle1rW62cQ3M7lv0Xbq6cN8dtGwnH5I4BNWCQNJNnXHmJ2GTcbKq4lLFK91R4rYmAl0jXaWaOg5krx8VuIY304ihnjfPnblYwhzjfSwAv1URw7gvhNa+fzzHcv1DezW7A91aTcV8pDeOQ1heY2PbGCcr3gtaBfS19dVnvEcrxKY3XAby1sTtcLY6yYWIuqZjtLHICHAHvzB9VaTalrOElk5r6MxOsdRyPUf5TVEFshAKWyB60LpTRlz2t6kD6rnYFWv4cxRuqx4xaAGkNLtsztNbDkq29LYzvtb8ExaOKNjIowGtOUjqRue55qyYpxCI2B1gOQ3Gqrs2FwxOlaxwfkka8Fu13WBH6rzxuBLTMscpzxi40IBPmPsAvN8d56etLJhv9RYOG8cNRI4G1gBpubHmeicYjO10rY993egH/aiuEcGZRGR3iOeHAG77Aiw02XCkqM880g20Y30bcu+pNvZa8fH93U+GPNn9rf7SVVTsIs5rSO4+99woSsr3Urv9VsjeUMhJf/6OGp9CE8rKl58kRsfxPtowHkPzWTb+NggIc5uvN9gSO5O67v7vNOMK4jgqPKDlfzY4WcPYqTOVcPEp5xtG8jn5bj0I1+6az4BE/wD8k7ewlf8ApdEpHx2tBvo3qeSluG+J42uyOe0xnZwcLNP+Cqe/hCAgg+I6/WWT/KiqnhVsEf8AJi8Y63DnODiO1iAVPUQ3d8IIBG+4tzvqqlj/ABt4Mv8ADxgeKG5nPf8ALGDtdo1cdCeSy3BviBNTXis+Jo/Dd7rdgHk5VB4piFHNK+WR9Rnfq5wfe/8A9h0U6TvpKfEfimGtY1hkdJIwkgj5dd9AFnj2kK3YfwrBPrBLKB1cwW+ul04//hw3/UnJbf8AA0fvdV0bqmskTiOtc0ENcQDoQDa/qrXJwXA+whqC13Nsgv8AS1l3p/ho4kZ6luXc5Wm5Ha5sFWxfHKz0a8DYA2oLpJgTG3QDXzu79grFjVFRUUD5GxNMh0Zm81nHpfYC6fQUjYWiOO7WgWHU9z3VJ+IVSS6KO/IuPvoFaRW5Wq/Lib/wkhJQeNPII49XH7DmT0CYW5LSsDpQGBkEfhiwzyEeZxtrr0So244PwwyKVrnOM0zTew0Yw9+tlbXMtq4i/bkmjpWQM/5cn91HyYoXGwFydv8AdOxLyWc61+WqpmJ17HSOaw3y7qax/EDBTPds4i31VDwh3l17lx6lMNldMXAcwg7jVqrif1tYXOJ5bD0TFSgq9ArwhBJ1MIGoS+OWMY5ps4l2vYW0QhImrJHiLs8gFhmEJuL6XIvp7qyTVHngDvMDnaRfqzdCFyY/nHoW28VWOipfGo5HlxBDdNj+H/ZVHEMRdS0DDHYvfYZjyLzcm3uhCvxf1MmHNft4vEFG+OIETPLg0PJ5OL97hTWFVQmZZ7GnSx7oQujL05op/E2HfwL2zUz3NzH5eQtr9Oys/CHEr6lnnaLjmDv9kIRC2By6OQhUq0RWMYXFM3LKwPB9iPR26r8vBlIxzT4ZPq9x/fVKhaRVY6OBugAsP0T6WFuU6c0IVMva0V7FsOY5twMp6hNaCZ7RbMSAbfVKhTURHcUY4+njDmtBJNtdh7c1nWIYg+Z5fIbn9unohClB9wphzaipZG++U3Jtzyi9r8lqslmM0G2wQhQKu6odNL5joNgph7GwxueBcgX9UIVxmuMY1LUOJefLyaNgAV7jOWnBG7iboQqxNRCRCEQF0jjuhCD/2Q==Ada yang atasnama Tuhan melecehkan Tuhan
Ada yang atasnama negara merampok negara
Ada yang atasnama rakyat menindas rakyat
Ada yang atasnama kemanusiaan memangsa manusia
Ada yang atasnama keadilan meruntuhkan keadilan
Ada yang atasnama persatuan merusak persatuan
Ada yang atasnama perdamaian mengusik kedamaian
Ada yang atasnama kemerdekaan memasung kemerdekaan
Maka atasnama apa saja atau siapa saja
Kirimlah laknat kalian
Atau atasnamaKu perangilah mereka!
Dengan kasih sayang!
Rembang, Agustus 1997

NASEHAT SANG KIAI KEPADA SANTRI-SANTRINYA

Emha Ainun Najib“Aku akan segera bergabung dengan masa silam alias akan dipanggil oleh Tuhan”,
kata seorang kiai di suatu sore kepada santri-santrinya. “Aku akan segera
berlalu, masaku akan segera dikuburkan. Kamu sekalian para santri sekarang mulai
menapaki masa peralihan dan anak-anakmu akan menjadi penghuni jaman baru yang
dahsyat dan mengagumkan sesudah orde yang sekarang”.
“Sami’na wa ‘atho’na..”, kata para santri dengan penuh ta’dzim. “Hamba mohon
wahai pak kiai tancapkanlah cahaya yang menerangi cakrawala hamba jalani”.
Sang kiai terkekeh-kekeh. “Bahasa dan tata prilakumu semacam itu adalah bahasa
generasiku. Sehingga besok akan terkubur bersamaku dan bahasamu yang bisa
dikenal oleh masyarakat adalah bahasa Rap, bahasa extacy, dan bahasa-bahasa yang
makin tidak mengenal sopan santun. Hei berlatihlah untuk meninggalkan upacara
dan sopan santun yang barbagai dan bertele-tele semacam itu. Kemudian mulailah
satu cara hidup yang praktis, yang prakmatis, yang efektif dan efisien. Kemudian
karena engkau adalah bapak dari anak-anakmu kelak, dan cara hidup baru itulah
modal utama yang engkau ajarkan kepada anak-anakmu, agar mereka sanggup berlari
seirama dengan jaman yang mereka jalani. Cara hidupmu yang bertele-tele jangan
engkau warisi dan jangan engkau wariskan kepada generasi dibawahmu agar mereka
tidak digilas oleh buldoser oleh suatu makhluq baru yang esok lusa akan lahir
semakin banyak lagi”.
Si santri bertanya, “Apa nama makhluq baru itu pak kiai..?”
Sang Kiai menjawab, “namanya Al Khonglomeraat..”.
“Makhluq apa itu gerangan pak kiai..?!”.
“al khonglomeratu kabirun jiddan.. tubuhnya sangat besar.. salah satu kakinya di
pantai teluk jakarta, kaki lainnya di gunung sebelah selatan Surakarta”.
“Pak kiai.. itu pasti semacam Gatot Koco yang berotot kawat bertulang besi..”.
“Bukan anakku, otot mereka bukan kawat dan balung mereka bukan besi tapi otot
mereka adalah jalan-jalan tol, tulang-tulang mereka adalah cor-cor besi
gedung-gedung pencakar langit”.
“Jadi kalau begitu mereka sangat kuat ya kiai..”.
“Sangat-sangat kuat.. maka katakan pada saudara-saudaramu dan anak-anakmu jangan
berusaha sekali-kali melawan mereka kalau belum sungguh-sungguh menghitung
kekuatan sendiri”.
“Pak kiai, persisnya berapa kuat makhluq bernama khonglomerat itu..?”.
“Hampir tak tebayangkan karena dia sanggup mengalahkan dengan mudah semua
pendekar-pendekar ulung. Apalagi sekedar bernama gubenur atau mentri. Kalau
sekedar bupati atau setingkat hanya dijadikan slilit-slilit kecil disela-sela
giginya. Bahkan ada pimpinan-pimpinan didaerah seperti itu yang memaksakan
sebuah proyek harus segera dilaksanakan karena dia dipindahkan dari jabatannya
dan harus mendapatkan bonus dari proyek yang dikerjakannya itu”.
“Ajaib ya pak kiai..!!”.
“Ya, ajaib.. kalau konglomerat meludah, setetes air liurnya menjadi sepuluh ton
supermie. Kalau dia bersin riaknya menjadi miliayaran virus-virus. kalau batuk
jadi apa..? Kalau batuk jadi mall.. supermarket dan plaza-plaza..”.
“Luar biasa kiai..! kalau begitu makan mereka itu apa sehari-hari..?”.
“Makanan mereka adalah sejenis jajan yang bernama Rakyat Kecil”.
“Kalau demikian..”, kata si santri, “Akan aku ajarkan pada anak-anakku ilmu
binatang”.
“Lho.. apa maksudmu dengan ilmu binatang?”, tukas pak kiai.
“Ilmu keserakahan yai…”.
“Darimana kamu memperoleh ilmu bahwa ilmu keserakahan adalah milik binatang?”.
“Lho, pak kiai gimana, sudah menjadi pengetahuan umum sepanjang jaman bahwa yang
dimaksud kebinatangan adalah kerakusan, kebencian dan kebiadaban”.
Sang kiai tertawa terbahak-bahak, “Kiai mana yang ilmunya sesat seperti itu..??
Tidak ada binatang yang rakus itu.. tidak ada.. binatang itu selalu berhenti
makan kalau sudah kenyang. Tidak ada binatang yang sudah kenyang masih terus
makan. Manusialah yang terus makan meskipun sudah kenyang.. Manusialah yang
tidak pernah merasa cukup meskipun sudah memiliki ribuan perusahaan. Manusialah
dan bukan binatang yang tetap merasa kurang meskipun ditangannya sudah
tergenggam seratus milyar, meskipun sahamnya sudah berekspansi sampai
kehutan-hutan dan dasar lautan maupun gunung-gunung disebelah wetan”.
“Manusialah..”, kata pak kiai, “..yang meskipun telah dia kuasai harta yang bisa
dipakai untuk membeli 10 kota besar berpendapat bahwa yang ia jalani adalah pola
hidup sederhana!. Kalau 10 ekor semut bergotong-royong mengangkut sejumput gula,
mereka tidak akan menoleh meskipun disekitarnya tergeletak sejumput gula yang
lain. Tapi kalau manusia… manusialah yang selalu sangat sibuk mengisi
ususnya dengan penguasaan industri makanan dan kosmetik, industri otomotif,
properti bahkan industri manipulasi atas Pancasila dan Kitab Suci”
Emha Ainun Najib

Sabtu, 25 April 2015

Lihat Bagaimana Sebuah Buku Bisa Lahir Kembali di Tangan Pria Ini

Setelah memori buku ini hampir hilang karena rusak dan kumal, kamus bahasa Inggris – Jepang setebal 1.000 halaman ini memperoleh nyawa baru Nobuo Okano memperbaikinya di seorang tukang service buku di toko Okane di Suidobashi.

Buku bagi sebagian orang adalah sebuah memori, dan memori ini yang ingin diwariskan kepada anak Nobuo. Sapul buku yang sudah rusak, sobekan dan tekukan dimana mana, belum lagi ada warna di samping sisi dan kanan buku ini membuat buku ini seperti kehilangan tiga per empat nyawanya.

Ini adalah proses reparasi buku ini sehingga buku ini memperoleh nyawanya kembali
   Buku ini mempunyai sebuah peta Jepang dalam bahasa Inggris. Bentuknya sudah memprihatinkan, jadi Nobuo mengelemnya ke sebuah kertas Warnanya memang berbeda, tapi tampilannya jadi lebih baik kan?  Selanjutnya adalah meluruskan setiap halaman buku yang tertekuk ini dengan menggunakan setrika dan air   Bahkan dia punya setrika khusus untuk pekerjaan ini  Pemilik lama menuliskan inisial pacarnya semasa sekolah dahulu. Bagaimana cara menghilangkan ini?  Okane memotong bagian yang tidak perlu ini dengan mesin pemotong, tanpa menghilangkan atau mengurangi tampilan buku ini Buku ini terlihat baru kembali!Terakhir, karena sampul buku ini sudah rusak parah, Okane membuatkan sampul baru dan menempel logo buku itu di sampul barunya ini      sumur : http://www.kaskus.co.id/      
"Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu"