“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 4
Oleh: Nata Warga
31. “Golek Banyu Bening”
Artinya: Belajar pada guru yang benar.
Sejarah perjalanan manusia tidak lepas dari guru dan belajar,
istilahnya “Tiada kehidupan tanpa disentuh oleh guru” dan “Tiada
kehidupan tanpa belajar”. Kenapa? Setiap jengkal kehidupan kita adalah
belajar untuk mengerti dan lebih mengerti, baik itu lewat bimbingan
maupun pengalaman.
Berguru itu banyak, bisa kemana-mana, sejarahnya setiap manusia itu
berguru, dimulai dari berguru pada guru mati, yang artinya belajar dari
prasasti, buku, kitab, litelatur, bahkan seni, yang sifatnya komunikasi
satu arah. Lalu berguru kepada guru hidup, seperti berguru kepada, orang
tua, sekolah, pemuka agama, yang sifatnya 2 arah komunikasinya.
“Guru-guru” inilah yang membuat kita dibimbing dalam hal yang benar…
Permasalahannya muncul ketika kita bertanya, apa itu yang bisa disebut
benar?
Seorang bijak menjelaskan bahwa:
“ngupadi ilmu mangkono kudu ateken tekun atemah tekan..
kanthi syarat 3 perkara”, yaiku :
(“menuntut ilmu harus berpedoman kepada ketekunan..
niscaya sampai pada tujuan.. dengan syarat 3 perkara”, yaitu :)
1. ilmu kang bener..bener kanggo pribadine dewe..
bener tumraping sesami gesang..lan bener tumraping Pengeran.
(1.ilmu yang benar..benar bagi pribadi kita sendiri..
benar bagi sesama hidup..dan benar bagi Tuhan..)
2. ilmu kang tanpa sirikan..
(2.ilmu yang tanpa pantangan..)
3. ilmu kang asipat langgeng..
(3.ilmu yang bersifat langgeng – Abadi..)
Walau padangannya mungkin bersifat abstrak
ataupun butuh penjelasan lebih ditail, tapi minimal bahwa ini
mengindikasikan bahwa Benar itu bersifat mencakupi dan menaungi tanpa
tanpa syarat.
Dalam kehidupan ini ibaratnya kita sedang naik perahu dengan dayung
ditangan, dan kita berada di sungai dengan ada arus, perahu kita
menantang arus, saat mendayung adalah belajar, maka kalau kita belajar
maka kita sedang mendayung maju, tapi kalau saat kita berhenti belajar,
maka kita berhenti mendayung, dan bisa dipastikan kita akan terseret
dibawa arus sungai.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Golek Banyu Bening”, sama-sama
harus selalu tidak pernah puas untuk saling belajar dan saling mengajar
(menjadi guru)/ saling mengisi, sehingga rumah tangga yang kokoh dan
penuh kebahagian akan tercipta, dan akhirnya membawa kita menjadi
pribadi yang senantiasa membangun keluarga yang utuh atau tunggal.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), Hai murid,
taati ajaran guru, tapi jangan ikuti teladannya yang bertentangan dengan
ajarannya… Nasehat ini jelas agar, anak atau murid, senantiasa memetik
setiap pengertian benar untuk pribadinya bukan untuk memuaskan orang
lain, orang tua, maupun guru-nya.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
saling belajar atau memerankan diri menjadi guru, agar hal-hal yang
benar yang bentuknya seperti gotong royong, haruslah menjadi perhatian
utama dalam interaksi bermasyarakat, jika kita bisa mempertahankan
kondisi dan sikap yang demikian, maka keberadaban dalam
berprikemanusiaan kita akan semakin berbudi luhur.
32. “Jembar Segarane”
Artinya: Berjiwa besar memaafkan.
Setiap hari kita disugguhi dari berbagai macam peristiwa melalui mata
kepala kita sendiri dan juga melalui media, bagaimana “Maaf” menjadi
hal yang sangat langkah sekali…
Mulai dari pemimpin dan pemuka agama tidak memberikan contoh untuk memberikan maaf pada sesama.
Untuk dapat memaafkan diperlunya jiwa besar dalam diri kita. Jiwa
besar dapat terbentuk jika secara pengertian dan pandangan benar akan
hidup ini dan hidup dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Jembar Segarane”, yang bisa
dikatakan berlapang dada untuk memaafkan sebesarnya, maka jika ini di
junjung, niscaya kehidupan rumah tangga senantiasa akan utuh, namun
kekhawatiran muncul bahwa nanti akan menjadi memanjakan, tentunya ini
harus kita ingat bahwa kehidupan berumah tangga bukan terikat, tapi
harus saling mengikatkan diri dalam batasan-batasan berumah tangga.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan
guru, senantiasa adalah manusia yang memiliki semangat memaafkan paling
banyak terhadap anak dan murid nya. Berjiwa besar yang ada pada orang
tua dan guru, inilah yang menjadi titik takar, kwalitas dari mereka, dan
ini pula yang akan menjadikan anak dan murid mereka menjadi murid yang
memiliki teladan yang benar dan baik. Dalam hal ini orang tua dan guru
dalam memaafkan bisa berarti selalu memberikan kesempatan kepada anak
dan murid dalam meningkatkan pengertian dan pemahaman.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari
kita saling memanfaatkan diantara kehidupan bermasyarakat dan
memasyarakatkan saling memaafkan.
33. “Ojo Leren Lamun Durung Sayah”
Artinya: Jangan berhenti sebelum capek.
Semangat berkarya/laku haruslah senantiasa selalu tumbuh, menjadi
manusia yang penuh aktifitas adalah suatu hal pasti karena design tubuh
manusia memungkinkan demikian. Akan tetapi mudah menyerah dan bermalasan
(dalam segi negatif) pada hal belum mengalami titik puncak, atau belum
capek kita sudah beristirahat. Jangan terlalu cepat menyerah, senantiasa
semangat tinggi berkarya, karena kalau kita cepat menyerah nanti akan
menjadi satu kebiasaan malas yang berulang-ulang untuk karya
selanjutnya.
Capek dalam hal ini adalah lebih menitik beratkan tidak adanya
keseimbangan antara pikiran dan perasaan. Dimana kedua hal ini tidak
sinkron lagi. Karena kalau capek dipaksakan maka akan membuat frustasi,
kalau frustasi akan menghasilkan karya yang jelek.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Ojo Leren Lamun Durung Sayah”,
jangan berhenti untuk selalu saling membangun dan saling berkomunikasi
secara efektif dalam segala hal, jangan mudah menyerah kepada pasangan
yang ngeyel, tetaplah selalu mempertahankan semangat dan daya juang yang
tinggi, agar selalu dalam kemanunggalan.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak dan murid
melakukan tanpa harus memikirkan kapan harus berhenti karena orang tua
atau guru tahu/wruh kapan anaknya dan muridnya kapan capeknya.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
janganlah kita berkilah atau menghindar untuk selalu senantiasa punya
kesempatan membangun masyarakat yang beradab.
34. “Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi”
Artinya: Kwalitas diri tercermin dari tutur kata.
Tentu kita pernah mengalami suatu situasi dalam kesempatan diskusi,
dimana terjadi perdebatan, ada yang saling cerca atau maki, berteriak
dan juga saling adu keras suara, seolah-olah semua harus mendengerkan
yang berteriak paling keras. Atau mungkin kita pernah dalam situasi
dimana ada suatu diskusi monolog, dimana kita sebagai pendenger, dan
justru yang berbicara memaki, berteriak dengan suara keras, seolah-olah
bahwa yang mendengerkan harus nurut dan tidak boleh membantah.
Diantara kedua pengalaman, tentu kalau secara jernih kita melihat,
tentu ada rasa prihatin yang muncul. Gus Dur pernah mengatakan DPR itu
seperti anak TK, kalau di tangkap sebenarnya itu adalah menunjukan rasa
prihatin, karena Gus Dur mungkin pernah dalam situasi pertama yaitu
adanya saling debat, cercam, maki, teriak, walaupun belum tentu Gus Dur
belum tentu tidak melakukan kepada yang lain.
Namun dari pesan ini, bisa kita mengungkapkan bahwa pribadi diri,
harga diri, sangat tercermin pada kata-kata yang kita ucapkan.. Pernah
saya bertanya pada seorang bijak, kalau saya sudah baik, bagaimana saya
meningkatkan kwalitas diri, beliau hanya pesankan “Jaga tata basa lan
tata laku”.
Dari sana bisa kita merenungkan bahwa ternyata “tata basa” /
berkata-kata/berbahasa/berkomunikasi merupakan petunjuk atau indikator
bagi diri sendiri apakah kita sudah cukup baik kwalitas kita atau hanya
anggapan-anggapan sendiri.
Kalau dalam dunia persilatan dikatakan, “Tajamnya pedang sakti, tidak
setajam lidah”, artinya kata-kata bisa melukai orang lain, kata-kata
bisa menjadi racun, dan bisa membunuh orang lain.
Kata-kata disini yang mencerminkan diri adalah kata-kata yang
mengandung motif, kata-kata yang isinya “Berkemauan” atau “Karsa”,
diantara pilihan pengertian inilah bisa sangat menjadi indikator
kwalitas diri yang baik atau justru sebaliknya.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Ajining Diri Dumunung Aneng
Lathi”, menurut penelitian, bahwa sehari laki-laki menghabiskan 7.000
kata untuk berbicara, sedangkan wanita menghabiskan 20.000 kata. Sangat
indah kalau misalnya kata-kata ini adalah saling untuk menghidupkan.
Disini peran wanita sangat penting juga bahwa bahasanya sangat dinanti
untuk bisa menjaga stabilitas keluarga, maka jangan heran ada istilah
bahasa ibu, karena ibu memang lebih sebagai pembicara keluarga, lewat
bahasalah ibu mendidik/membangun keluarga. Namun laki-laki harus secara
serius memperhatikan, tidak boleh asal melempar kata-kata walau
pengunaan katanya lebih sendikit. Intinya cara berkomunikasi
mencerminkan kwalitas keluarga.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), cara
penyampaian bahasa kasih sangat penting dalam hubungan orang tua dan
anak… Guru juga demikian halnya, tahu tata basa yang akan dipakai untuk
murid, namun repotnya murid sering suka untuk mengambil kesimpulan
sendiri. Kadang guru tidak mengeluarkan suara dalam bertutur, tapi dari
sikap itu juga mencerminkan bahasa tertentu. Ada istilah, kalau sudah
sampai ditegur beberapa kali oleh guru, itu sudah berarti keterlaluan.
Guru selalu akan berusaha memilih kata-kata, agar walaupun murid tidak
jadipun, tapi murid setidaknya bisa baik dalam bertutur kata. Demikian
halnya hendaknya semua orang tua demikian.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
mengendalikan diri dalam berkata-kata agar tidak memberikan efek
negatif, tidaklah menyendiri dalam hal prinsip hidup. Berbahasa dan
berkata mengandung energi, energi yang menunjukan diri kita, yang bisa
membangun dan juga merusak, maka tercermin diri kita apakah sebagai
pembangun (penuh welas asih) atau perusak (penuh kemauan jahat).
35. “Menthung Koja Kena Sembagine”
Artinya: Membohongi, justru sebenarnya dibohongi.
Saat kehidupan ini, dimana ketika kita berinteraksi dengan
orang-orang disekitar kita, dengan ego yang begitu kuat dalam
mempertahankan diri, maka jurus ampuh yang sering dipakai adalah dengan
membohongi, agar selamat dari resiko maupun tanggung jawab.
Bohong disini yang di maksud tentunya bukan sekedar matematis, tapi
lebih kepada motivasi yang bersifat merusak atau tidak membangun.
Pemangku jabatan pada negara sering sekali dianggap membohongi
rakyatnya jika dianggap suatu janji tidak terealisasi, lalu dicarilah
akal-akalan untuk menipu/membohongi rakyat dengan motivasi yang merusak,
pejabat boleh saja berhasil dan senang membohongi, namun sebenarnya
dalam arti lebih dalam itu bisa membohongi dirinya sendiri karena
resikonya untuknya jauh lebih besar, hanya mungkin secara matematis
tidak terhitung/terlihat.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Menthung Koja Kena Sembagine”,
jangan ada dusta diantara kita, demikian nyanyian sebuah lagu. Sekecil
apapun tetaplah selalu saling terbuka, janganlah membohongi. Berbohong
pada pasangan, bukan hanya sekedar berbohong pada pribadinya, tapi pada
keutuhan keluarga secara keseluruhan.
Segala hal jelek yang terjadi dalam rumah tangga, biasanya lantaran terlambat untuk jujur.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak atau murid
sering berusaha untuk mengelabui orang tua atau guru atas tanggung
jawab mereka, yang mana ingin membohongi orang tuanya atau gurunya,
padahal dalam arti sebenarnya mereka telah membohongi diri mereka
sendiri dan telah setuju untuk tidak menjadi anak atau murid yang baik.
Demikian orang tua atau guru sering membohongi anak dan murid lantaran
gengsi atas kesalahan di buat, berani untuk refleksi diri dan mengakui
serta berhenti melakukan, jauh lebih baik dan benar, daripada tetap
menjaga nama baik.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari
kita junjung kehidupan ini dengan segala kejujuran, karena dunia memang
sudah demikian ruwet, janganlah kita membebani diri kita dengan
kebohongan yang akhirnya menghambat diri kita untuk beradab dan tentunya
mempengaruhi masyarakat yang untuk menuju peradaban yang lebih luhur.
36. “Sedhakep Ngawe-Ngawe”
Artinya: Tergoda untuk berbuat lagi, walau sudah bertobat.
Kata motivator bahwa sukses bukan dihitung dari berapa kali mencapai
target, tapi berapa kali anda gagal dan bangun lagi untuk mencapai
target. artinya memperbaiki yang salah/gagal, bukan mgnulangnya.
Demikian jika kalau kita berbuat kesalahan dan sudah berhenti, hendaknya
kita cukup berhenti selesai, tapi kita malah sering berkeinginan untuk
berbuat lagi kesalahan yang sama.
Dalam kehidupan kita, kita sering merindukan untuk memuaskan ego
kita, ingin sekali bahwa semua adalah semau kita, maka ingin apapun itu
adalah harus sesuai pengharapan kita.
Muncullah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kaidah yang ada, dan inilah yang dianggap sebagai pemuas para ego diri.
Kesalahan yang kita buat dari perbuatan, yang mana saat menyadari
untuk berhenti melakukan salah, apalagi diikuti berhentinya melakukan
kesalahan, maka itu sudah merupakan kemajuan secara hakiki. Namun
kebodohan kita jugalah yang selalu mengulang lagi, tergoda untuk lakukan
lagi, karena untuk memuaskan ego sesaat.
Kebodohan yang dipelihara itu akan membuat kemerosotan nurani, yang akhirnya berpengaruh secara akumulatif ke semuanya.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Sedhakep Ngawe-Ngawe”, sudahlah…
kalau sudah pernah buat salah, jangan pernah berpikir untuk nyoba-nyoba
atau memberikan dispensasi/alasan diri, apalagi dengan semboyan sakti
“manusia tidak bisa luput dari salah.”, sungguh saya katakan bahwa
harusnya “manusia tidak akan buat kesalahan kalau dia tidak mau, tidak
lalai, dan tidak menyerah.”
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak-anak atau
murid yang berhasil adalah mereka yang bisa belajar dari kesalahan orang
tua dan guru mereka, disamping teladan baik orang tua dan gurunya.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari
kita putuskan hubungan dengan segala kesalahan-kesalahan yang telah
menjadi penyakit masyarakat… Mari renungkan dan temukan penyakit itu.
37. “Alon-Alon Waton Kelakon”
Artinya: Pelan-pelan namun pasti terlaksana.
Saudara-saudara semua, hidup ini berpacu dengan kecepatan waktu,
seolah kita kejar-kejaran dengan waktu yang semakin sempit, maka tidak
ada istilah untuk berleha-leha. Namun, janganlah juga kejar-kejaran yang
tidak efektif serta panik-an. Dalam segala hal, semua itu dibutuhkan
pengertian yang tepat, agar secara pasti kita tahu apa yang akan kita
lakukan pasti terjadi, atau kita mengetahui persis kejadian yang secara
pasti.
Pada falsafah di atas bukan mengajarkan kita santai, karena memang
sering dipakai untuk menunda-tunda perkejaan dengan falsafah ini, tapi
disini lebih menitik beratkan “terlaksana”-nya… Akant tetapi untuk bisa
demikian, maka langkah awalnya adalah pengertian yang tepat tentang
sesuatu yang akan kelakon. Seperti halnya memasak, kita tahu persis nasi
akan matang dalam waktu 10 menit, tapi yang mau makan sudah lapar, saat
masak nasi tersebut, yang lapar akan mengatakan bahwa kita lambat, dan
memang saat itu kita melambatkan aktifitas menunggu waktu 10menit.
Pilihannya adalah segera angkat nasinya tapi tidak matang (tidak
kelakon/terlaksanan) atau menunggu/memperlambat aktifitas dan matang
setelah 10 menit (kelakon). Jadi… fokusnya adalah kelakon-nya bukan
alon-alon nya..
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Alon-Alon Waton Kelakon”, bisa
diartikan sebagai kesabaran dalam membangun keutuhan rumah tangga.
Banyak dari kita sering tidak puas dengan pasangan, salah satu faktor
ketidak sabaran. Percayalah bahwa saat yang tepat semua akan terlaksana,
yang diperlukan adalah pengertian dan pemahaman yang harus terus
meningkat dari pasangan hidup.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak-anak dan
murid rajinlah belajar, orang tua dan guru tahu kapan saatnya, jangan
terburu-buru dan panik.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari
kita bersemangat lebih pada terlaksananya suatu hajatan besar, walau
waktu bisa sangat panjang, tapi tetaplah fokus pada cita-cita bersama.
38. “Jajah Desa Milang Kori” ~ Sambungan dari 22.
Artinya: Menjelajah kemana-mana.
Perjalanan hidup kita tidak lepas dari menuju dari satu tempat ke
tempat yang lain, namun tidak semua dapat bermakna lebih dalam
perjalanan. Menjelajah adalah menempuh suatu perjalanan untuk berbuat
sesuatu yang baik, meninggalkan hal yang baik, dan mengajak hal yang
baik pula.
Penjelajahan sering dikaitkan dengan penjajahan dari segi negatifnya,
yang mana bermakna sesuatu yang buruk, meninggalkan luka, dan
menanamkan dendam, tentu itu harus di tinggalkan.
Maka apakah Sumpah Palapa-nya Maha Patih Gajah Mada, apakah
menyatukan dengan menjajah atau menyatukan dalam menjelajah dengan
kebaikan, sehingga semua kerajaan ikut suka rela menyatu dengan
Majapahit? Ini menjadi perdebatan, walau sebenarnya Majapahit merupakan
kerajaan Modern yang bukan 100% mewakili Komponen Jawa itu sendiri.
Jangan takut kita menjelajah, dan berpetualangan dengan segala sikap
dan sifat kebaikan. Jangan merasa terbebani dengan rasa khawatir dan
keterikatan, karena apa yang kita lakukan tentu akan memberikan dampak
hidup yang baik bagi yang lain, walau itu dinilai kecil.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Jajah Desa Milang Kori”,
lakukanlah bersama dengan pasangan, maka keluarga akan semakin nyatu dan
kompak, karena bisa belajar banyak hal dalam setiap perjalanan.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak atau murid
tentu tidak pernah dibatasi orang tua atau gurunya untuk mencari dan
mengali pengalaman bila mereka sudah siap. Orang tua atau guru tidak
pernah juga berhenti untuk selalu menjelajah untuk meningkatkan berbuat
baik dan juga melatih diri mereka juga.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), dalam
penjelajahan kita senantiasa saling mengunjungi saudara jauh maupun
yang belum di kenal, tujuannya adalah membangun tali silaturami dan
mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan welas asih,
beradap, dan benar.
39. “Sapa Sira Sapa Ingsun”
Artinya: Siapa anda siapa aku.
Secara harafiah ini adalah pemisahan kehidupan bermasyarakat maupun
individu dan hal ini terlihat sekali saat ini dilingkungan kita ada
pengkotakan-pengkotakan, masing-masing merasa lebih exclusive seperti
berkotakan SARA. Katanya dalam bahasa gaulnya Jakarta, ente ente, aye
aye ~ lu lu, gue gue, atau “sana lu, gak level dengan aku”.
Iya… itulah gambaran kehidupan kita yang menjadi mendarah daging,
yang mana hal ini disebabkan bahwa sudah tidak adanya rasa rendah hati,
tidak berwelas asih, tidak berbudi pekerti ~ tidak berpengertian yang
benar. Maka mari kita sama-sama kembali untuk meresapi makna-makna luhur
dalam kehidupan sebagai saudara, sebagai kemanusiaan, yang bukan
mengukur dari bibit bebet bobot.
Makna yang lebih dalam adalah bila ini akan lebih baik dipakai untuk ke
dalam diri, untuk mengoreksi diri sendiri, sehingga bisa menyadari
“Sira” sebagai pekerjaan produk pikiran (indentifikasi diri), dan
“Ingsun” sebagai Atma kita yang sejati. Maka itu butuh penyadaran dan
pengamatan yang seksama.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Sapa Sira Sapa Ingsun” membina
hubungan keluarga yang baik, sebaiknya janganlah membeda-bedakan
berdasarkan tugas dan tanggung jawab, tapi justru bersama-sama dalam
segala hal menjalankan tugas dan tanggung jawab.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua atau
guru yang bijak adalah mereka yang akan tetap menjaga keunikan diri dari
anak-anak atau murid mereka. Orang tua atau guru tersebut tidak akan
merusak indentitas diri, dan juga tidak akan membawa untuk menyesatkan
pada pengkultusan/pengfiguran dari orang tua atau guru, lebih mendalam
di ajarkan adalah “Anda itu unik demikian aku ini unik” maka tidak perlu
meniru.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
marilah kita bermasyarakat dalam berkesatuan ukuran, tidak memandang
derajat dan martabat diri dan orang lain, sehingga senantiasa kita
saling membangun peradaban yang lebih luhur.
40. “Mbuwang Tilas”
Artinya: Pura-pura tidak bersalah (mengabaikan perbuatan salahnya)
Kita sering melihat atau mengalami sendiri, kalau ada seseorang yang
sebenarnya tahu dia telah berbuat salah tapi dia mengabaikan atau
berpura-pura itu bukan suatu kesalahan. Mungkin dianggap bahwa mayoritas
demikian, maka salah pun tidak masalah. Andai di negeri ini masih ada
budaya malu, bukan budaya malu-maluin, maka tentulah masing-masing
pribadi tidak akan berbuat hal tercela dan berpura-pura tidak salah.
Namun akan mencegah perbuatan salah, dan akan berani mengakui dan
menghentikan kesalahan, maka negeri kita akan cepat bangkit.
Sudahkah saya punya budaya malu kalau berbuat salah/dosa?
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Mbuwang Tilas”, setiap pasangan
lebihlah sensitif untuk menyadari bahwa kesalahan yang kalau dibuat akan
berakibat bahaya, apalagi sudah buat salah tidak mengakui salah karena
alasan gengsi egois ataupun merasa lebih unggul. Keluarga dibangun
berdasarkan komitmen hidup dalam kejujuran terhadap welas asih, bukan
dibangun dengan kebutaan akan hal yang benar.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), sering kita
temukan anak-anak dan murid sering main kucing-kucingan kalau tidak
mengerjakan hal yang disuruh, anak dan murid tahu mereka salah, tapi
karena takut dihukum maka lebih baik tidak mengakui. Sebaliknya hubungan
orang tua/guru dengan anak/murid sering adalah dengan hadiah dan
hukuman (2H), dampaknya nanti berbuat sesuatu bukan karena kesadaran,
tapi karena pamrih dan takut. Bagaimana memberikan kesadaran bagi anak
dan murid jauh lebih penting.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
berani mengetuk pintu sebelah rumah anda (tetangga) jika memang berbuat
salah, datang dan akui itu. Jika setiap rumah menyadari betapa
pentingnya saling terbuka jujur dan saling memaafkan/mengampuni, maka
peradaban ini bukan mustahil akan mencapai titik balik positif. Dunia
menjadi begitu Indah.
Semoga Bermanfaat…
Berkah Dalem Gusti.
1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan Bag. 4
Selasa, Juni 23, 2015
/