Oleh: Nata Warga
40. “Mbuwang Tilas”
Artinya: Pura-pura tidak bersalah (mengabaikan perbuatan salahnya)
Kita sering melihat atau mengalami sendiri, kalau ada seseorang yang sebenarnya tahu dia telah berbuat salah tapi dia mengabaikan atau berpura-pura itu bukan suatu kesalahan. Mungkin dianggap bahwa mayoritas demikian, maka salah pun tidak masalah. Andai di negeri ini masih ada budaya malu, bukan budaya malu-maluin, maka tentulah masing-masing pribadi tidak akan berbuat hal tercela dan berpura-pura tidak salah. Namun akan mencegah perbuatan salah, dan akan berani mengakui dan menghentikan kesalahan, maka negeri kita akan cepat bangkit.
Sudahkah saya punya budaya malu kalau berbuat salah/dosa?
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Mbuwang Tilas”, setiap pasangan lebihlah sensitif untuk menyadari bahwa kesalahan yang kalau dibuat akan berakibat bahaya, apalagi sudah buat salah tidak mengakui salah karena alasan gengsi egois ataupun merasa lebih unggul. Keluarga dibangun berdasarkan komitmen hidup dalam kejujuran terhadap welas asih, bukan dibangun dengan kebutaan akan hal yang benar.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), sering kita temukan anak-anak dan murid sering main kucing-kucingan kalau tidak mengerjakan hal yang disuruh, anak dan murid tahu mereka salah, tapi karena takut dihukum maka lebih baik tidak mengakui. Sebaliknya hubungan orang tua/guru dengan anak/murid sering adalah dengan hadiah dan hukuman (2H), dampaknya nanti berbuat sesuatu bukan karena kesadaran, tapi karena pamrih dan takut. Bagaimana memberikan kesadaran bagi anak dan murid jauh lebih penting.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), berani mengetuk pintu sebelah rumah anda (tetangga) jika memang berbuat salah, datang dan akui itu. Jika setiap rumah menyadari betapa pentingnya saling terbuka jujur dan saling memaafkan/mengampuni, maka peradaban ini bukan mustahil akan mencapai titik balik positif. Dunia menjadi begitu Indah.
41. “Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata”
Artinya: Setiap kelompok punya budaya adat istiadat.
Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, inilah suatu ungkapan pentingnya bagi setiap orang melihat perbedaan yang ada pada diri orang lain maupun kelompok. Ada kata seorang strategi perang, mengatakan: Merusak suatu bangsa, caranya dengan merusak generasi muda-nya.
Generasi muda yang rusak disini ternyata adalah generasi yang tidak mengenal adat istiadat budaya bangsanya sendiri. Kecenderungan manusia hidup dalam komunitasnya masing-masing, mungkin ini bagian dari insting bertahan hidup, bahwa lebih nyaman pada komunitasnya. Dari sanalah “Cara” itu di bentuk, lalu menjadi besar menjadi suatu kelompok yang perlu adanya “Tata” agar masing-masing ego kelompok tidak bertabrakan.
Nah.. merusak generasi adalah menabrakan antara cara dan tata nya, atau bahkan menghancurkan pegangan mereka dengan cara dan tata yang lain, yang cenderung merusak.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata” dua pribadi yang menyatu membentuk budaya keluarga yang baru, tentu tidak meninggalkan akarnya masing-masing, maka tetaplah selalu dalam plural yang menyatu, sehingga menjadi keluarga yang Baik.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru yang baik adalah mereka yang tidak menghapus jati diri anak dan murid mereka sendiri. Orang tua dan guru akan mengajarkan adat istiadat yang luhur agar demi kemajuan anak dan murid dalam mengembangkan jati diri.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), pandai-pandailah kita menghargai dan menghormati adat istiadat dalam sebuah masyarakat jika kita merupakan orang yang baru masuk ke dalamnya.
42. “Dudu Sanak Dudu Kadang, Yen Mati Melu Kelangan”
Artinya: Bukan siapa-siapa tapi ikut merasakan kehilangan.
Secara hubungan darah mungkin diantara kita banyak yang sebelumnya bahkan tidak kenal, dan karena perjalanan kehidupan ini maka kita saling begandengan tangan, yang mana artinya apa yang terjadi pada salah satu dari kita, tentu kita akan ikut prihatin, ikut merasakan kehilangan, ikut bersimpati dan empati.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Dudu Sanak Dudu Kadang, Yen Mati Melu Kelangan”, orang yang mengenal pasangan kita adalah yang juga harus merupakan pemotivasi untuk kehidupan kita berumah tangga, dan mereka bisa menjadi sumber inspirasi, maka jika terjadi sesuatu para mereka, kita tentu akan merasakan kehilangan.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru pasti selalu mengajarkan anak dan muridnya untuk senantiasa menjadi bagian dari kehidupan sosial. Agar mereka tumbuh menjadi manusia yang memiliki jiwa kepedulian yang tinggi.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), janganlah pernah cuek kepada keluarga lain yang menjadi bagian dari kehidupan kita, mereka akan juga bersimpati dan empati pada kita maupun keluarga kita, maka hubungan bermasyarakat ini makin intim, tanpa kecurigaan atau motif apapun.
43. “Durung Pecus Keselak Besus”
Artinya: Belum trampil, sudah berkeinginan macam-macam.
Katanya demokrasi adalah sistem kedaulatan yang paling tepat buat suatu negara, karena kekuasaan di tangan rakyat. Inilah yang menjadi diperjuangkan oleh Negara/kerakyatan kita, dengan demokrasi sebebasnya, namun akhirnya kebablasan. Mengapa? karena ibaratnya seorang anak wanita belum trampil berdandan, sudah berkeinginan merias wajah nya dengan macam-macam, sehingga terlihat seperti badut, menyeramkan, mengelikan, jadi bahan tertawaan.
Kita tentu bisa melihat sekarang apa yang terjadi karena kita ternyata belum siap, demokrasi menjadi Badut bagi sebagian orang dengan mempermainkannya, demokrasi menjadi menyeramkan bagi yang melihat kegerian yang terjadi, demokrasi menjadi hal yang mengelikan karena setiap orang mempertahankan kebodohannya yang terbuka, demokrasi menjadi bahan tertawaan bagi para sutradara politik. Akhirnya banyak yang mengatakan inilah demokrasi yang kebablasan, padahal sebenarnya karena kita belum siap/trampil.
Lantas… apakah kita biarkan? apa yang harus kita lakukan?
Iya… praktisnya pelan-pelan hapuslah semua dandan kita, jadilah polos lagi, jangan ikut-ikutan, jangan berbudaya orang lain, tapi seperti anak-anak punya budaya kepolosan dan apa adanya. Sambil kita bertumbuh dewasa dan menjadi trampil.
Baiklah.. kalau tumbuh dewasa butuh waktu, bagaimana kita menghapus semua dandanan kita, jadi polos dan tidak ikut-ikutan, dan menciplak budaya lain… Jawabannya sederhana “Berjiwa Besarlah” dengan berpandangan dan bertingkah laku Gotong Royong atau Bhinneka Tunggal Ika.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Durung Pecus Keselak Besus”, kadang memang keinginan dan cita-cita keluarga secara bersama sangat banyak, impian bersama yang dibicarakan bersama dan direncanakan secara serius, bisa saja memenuhi kegagalan, itu bukan lantaran bahwa salah cita-cita atau rencana, tapi salah satunya bisa jadi karena memang belum trampil/kemampuan belum mendukung kearah sana, ibarat kita mau meluncurkan roket, tapi boosternya belum siap. Maka sambil memupuk skill dan mempelajari kegagalannya, maka akan sampai.
Yang penting adalah jangan kegagalan dari sebuah impian keluarga, menjadi pupuk subur keretakan, itu yang tidak boleh.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak-anak dan murid tidak perlulah meniru gaya dari orang tua dan guru nya.. tetaplah menjadi anak-anak dan murid yang polos dengan kepercayaan tinggi. Jangan ingin dikatakan hebat lalu mencotoh yang sebenarnya belum saatnya untuk mu.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), janganlah pula kita iri pada keluarga lain yang dirasa secara ekonomi, sosial dianggap lebih tinggi dari kita, lalu kita berusaha meniru dan bahkan cenderung ingin saingan-saingan agar menjadi yang dipandang oleh orang lain, padahal jelas kemampuan kita terbatas. Kalau kita lakukan itu, justru kita sedang merusak tatanan masyarakat yang beradab.
Sesungguhnya pandangan orang lain kepada kita yang baik adalah kalau kita justru bisa membuat keluarga lain lebih beradab dengan menempatkan setiap orang (keluarga) adalah penting bukan persaing.
44. “Angon Mongso”
Artinya: Tepat saatnya bertindak.
Boleh jadi kesempatan dalam hidup itu tidak selalu datang dalam hidup kita.. Dan kesempatan itu ada kalau itu memenuhi kriteria kalau memang sudah tepat saatnya. Pada umumnya orang mengatakan bahwa segala hal sudah “diatur” dan ada waktunya masing-masing, ini sebenarnya ungkapan ketidak pastian bukan bentuk ungkapan kepasrahan, lebih banyak menghibur diri.
Sesuatu sudah saat tidaknya karena memang telah memenuhi aturan yang telah kita proses, dan yang lebih penting adalah bertindak-nya. Kapan kita tahu waktu yang tepat? Saat semua sudah penuhi aturan yang ada dari hal/sesuatu yang kita perjuangkan.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Angon Mongso”, keluarga lahir dari sebuah komitmen hidup, saat aturan komitmen hidup di ucapkan maka saat itulah segala hal telah siap. Namun kadang komitmen hidup ini hanya berasal dari ego kita semata, bukan dari kita memenuhi aturan hidup itu sendiri…
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), ada istilah saat murid siap maka guru akan datang, ini mungkin ungkapan yang mau mengajarkan bahwa segala hal yang sudah saatnya maka guru akan bertindak secara tepat.. Temasuk dalam hal ini, orang tua mendidik kita sesuai skala waktu anak-anaknya.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), jangan terburu-buru memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan harkat hidup orang banyak, jika kita dipercaya dalama masyarakat. Kehati-hatian ini bukan karena takut bertindak, tapi adalah kita menunggu waktu yang tepat dengan memenuhi aturan yang akan menunjang apa yang akan dilakukan, karena kalau belum matang, maka buah hanya bisa di jadikan rusak, tanpa bisa dinikmati manisnya, artinya kalau belum siap/belum saatnya maka kalau dipaksakan hal yang kita inginkan bisa menjadi bentuk lain yang bisa tidak sesuai harapan orang banyak.
45. “Dahwen Ati Open”
Artinya: Mencela tapi menginginkan.
Tentu kita pernah mendenger bahwa ada seseorang yang tidak berhenti untuk mencela setiap perbuatan orang lain sampai pada hal-hal kecil. Antipati pada orang lain muncul beriringan karena sakit hati dan dendam, namun lantaran tak kuasa untuk melakukan sesuatu, maka hanya bisa celaan yang bisa dilayangkan, walau kadang yang dicela sebenarnya sesuatu yang baik atau benar.
Kita juga sedang menyaksikan sandiwara politik di negeri kita dengan penuh celaan, saling menjatuhkan, saling menusuk dengan lidah setajam keris sakti. Akhirnya rakyat menjadi murid efektif menyerap ilmu para penguasa yang ashik saling mencela, dan tak lama lagi mungkin kita akan menyaksikan egoisme yang reaktif menyerang dalam hubungan sosial kemasyarakatan kalau kita tidak segera berubah.
Mari kita belajar untuk berjiwa besar, dengan Iya katakan Iya, dan Tidak katakan Tidak, tidak perlunya kita mencela sesuatu yang salah, tapi berikanlah masukan membangun, jika kita yang dicela, janganlah membalas, sudahilah dengan legowo. Seringlah membangun dan lakukanlah Sarasehan, agar menjadi manusia efektif saling belajar hal benar.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Dahwen Ati Open”, pasangan hidup kita adalah menyatu dengan kita, janganlah menyindir atau bahkan mencela akan kekurangan atau karena adanya ketidak senangan pada suatu tindakan, karena itu akan jadi bibit kebencian, dan kalau sudah ada bibit itu, pada saat ada pupuk ketidak jujuran, akan tumbuh subur menjadi buah dendam. Bebahaya !!!
Bangunlah komunikasi efektif dengan tetap menjunjung pada kemanunggalan.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru senantiasa selalu mengajarkan toleransi tinggi, toleransi yang dibangun tentu bukanlah toleransi dengan sifat “anda tidak ganggu, kami tidak ganggu, tapi jangan coba-coba kami di ganggu”, atau juga dikenal, kalau tidak mau dicubit jangan mencubit (Mbalas), itu akan menjadi akar masalah dalam melakukan celaan pada yang lain. Kalau tolerasi demikian adalah lebih kepada tidak merasakan adanya kesatuan ukuran, tapi ada permisahan. Orang tua dan guru tentu mengajarkan esensinya toleransi yaitu jangan membalas.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),komunitas yang harmonis dalam masyarakat di bangun atas dasar saling selalu asah asih asuh, yang mana akan mencengah adanya iri hati yang bisa menyakiti yang lain dengan kata-kata celaan. Kehidupan kita bermasyarakat harus dibangun dengan komitmen yang sama yaitu menjadi lebih beradab.
46. “Ngalem Legining Gula”
Artinya: Memuji yang memang pintar/baik.
Ada dua sisi yang bisa dipetik pelajaran dari falsafah ini… Yang pertama adalah bahwa memang orang yang pintar/baik sudah selayaknya untuk diberikan pujian dan penghargaan, sehingga bisa dijadikan contoh bagi yang lain. Namun di samping itu juga yang kedua adalah bahwa tidak usah berlebihan untuk muji-muji orang yang semua orang sudah tahu orang itu baik, karena terkesan hanya sebagai penjilat saja.
Penting memberikan penghargaan atau pujian, tapi adalah lebih penting adalah bahwa bagaimana kita menteladani yang pintar/baik atau bahkan menjadi teladan bagi orang lain, tanpa punya motif mau mengambil keuntungan dari dari orang lain.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Ngalem Legining Gula”, dipakai untuk saling membangun komunikasi kedalam atau kepada pasangan sendiri. Saling memberikan pujian dan saling memberikan teladan adalah hal baik yang harus terus dilakukan agar kehihidupan rumah tangga tidak statis.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), kadang orang tua/guru tidak ingin memberikan pujian kepada anak-anak/muridnya karena dikhawatirkan mereka berhenti untuk belajar dan merasa sudah cukup. Namun pujian ada biasanya ditunjukan melalui perhatian yang diberikan. Jadi anak-anak/murid belajarlah bukan untuk dapat pengakuan/pujian dari orang tua/guru, tapi karena memang itu akan ada, namanya gula itu pasti legit/manis, yang namanya kebaikan/kepintaran akan ada penghargaan/pujian-nya.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), dalam masyarakat kita banyak jumpai bahwa kadang kita memuji seseorang dengan tidak tulus padahal mereka memang layak diberikan pujian, dan karena memang mereka baik/pinter, hal ini bisa didasari lantaran kita terlalu banyak memberikan sekat/predikat/kotak, sehingga kalau bukan dari golongan/kelompoknya maka ya jadi gak tulus.
Akan tetapi adalah yang terpenting adalah mari kita berlomba-lomba berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya tanpa perlu ada motif tertentu.
47. “Pupur Sadurunge Benjut”
Artinya: Berhati-hatilah sebelum celaka.
Seringnya kita selalu menghadapi kena benjut (benjol/celaka) dulu baru mulai pupur (berhati-hati) pada apa yang sedang kita kerjakan…
Berhati-hati disini bisa bermakna mengambil keputusan yang tepat, bukan berdasarkan emosional dan terdesak oleh waktu.
Ini juga erat kaitannya pada Alon-alon waten kelakon (No. 37), dimana segala hal haruslah matang terlebih dahulu, jika tidak mau memenuhi kegagalan.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Pupur Sadurunge Benjut”, segala hal keputusan agar selalulah diketahui secara pasti oleh kedua pihak, agar bisa memberikan pembekalan dan pendapat dari masing-masing pasangan, dan ini akan memberikan kita mengambil keputusan dan tindakan yang tepat. Janganlah begerak sendiri-sendiri.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak-anak/murid haruslah lebih bersabar jika orang tua atau guru memberikan signal agar menunggu waktu yang tepat, karena mereka tahu apa yang harus di lakukan..
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), pemimpin masyarakat yang memperhitungan segala hal jangan jadikan sebagai kelemahan untuk menghakimi sebagai pemimpin yang tidak tegas, tapi agar semua dapat berjalan dengan baik. Demikian juga kita akan berhubungan antar keluarga agar menghargai keputusan setiap keluarga, yang mungkin terkesan melambat.
48. “Kumenthus Ora Pecus”
Artinya: Belagak pinter tapi sebenarnya tidak paham/ngerti.
Jika kita semua bisa memerankan diri secara penuh sesuai dengan bidang dan kemahiran kita, maka tentu pengertian tentang falsafah diatas tentu tidak akan muncul.
Kita contohnya misalnya komentator bola, komentator A bisa mengatakan bahwa pemain bola tidak becus menedang bola sehingga bola tidak masuk, namun ada juga kometator B mengatakan bahwa tendangan yang baik namun antipasi yang bagus dari penjaga gawang sehingga bola tidak masuk. Dari kedua contoh ini bisa kita melihat bahwa sekarang ini banyak dari kita seperti komentator yang bertindak sebagai pelatih atau bahkan pemain itu sendiri, yang mana pada saat dilapangan tentu kondisi sudah berbeda dan pastinya merusak banyak hal.
Banyak sekali dalam perjalanan hidup, kita sendiri kadang demi nama baik, pengakuan, status, ingin diakui, kita telah bertindak sok/sombong padahal kita sendiri tidak paham bahkan tidak mengalami langsung. Ini justru sebenarnya akan mempeburuk kwalitas diri secara tidak sadar, kita bisa saja menjadi menjerumuskan, bahkan merusak orang lain.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Kumenthus Ora Pecus”, bertindak arogansi terhadap pasangan hidup dengan tidak mengerti tahu masalahnya itu adalah ciri kesombongan yang tanpa paham permasalahan. Komunikasi menjadi kunci penting untuk saling bisa memberi tahu dan mengerti posisi masing-masing, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuduh yang mana sebenarnya tidak memahaminya. Ketegasan juga diperlukan jika pasangan dalam kondisi bahaya yang mana dia sendiri tidak menyadarinya, harus secara tegas diberitahu.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru haruslah mengajarkan apa yang telah dimengertinya, bukan meniru orang tua dan guru yang lain, karena terprovakasi oleh pengalaman anak/murid yang tentunya mengalami interaksi dengan sekitarnya. Anak-anak dan murid jangan pula melakukan hal-hal yang belum dipahami atau belum disuruh untuk lakukan, untuk menghindari kesombongan (berlagak) diri yang muncul.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), bertindak seolah-olah polos, seolah-olah berbaik hati, seolah-olah lemah lembut, seolah-olah apa adanya, adalah tindakan munafik yang memang tujuan halusnya adalah untuk menjadi diakui atau pengakuan diri, sangat berbahaya dalam hubungan kehidupan bermasyarakat, karena pada akhirnya akan ada bersifat menipu dan tidak menjadikan dasar sebagai kehidupan beradab, karena pada akhirnya akan menjadi sombong (berlagak) padahal tidak mengerti, ini sama nanti akan menjerumuskan beramai-ramai.
Mari berdamailah dengan keluarga sendiri dulu kedalam, maka tindakan apa adanya adalah murni demikian.
49. “Micakake Wong Melek”
Artinya: Tidak tahu malu, padahal mengetahui orang lain tahu perbuatan jeleknya.
Zaman sekarang dimana budaya malu sudah hilang, dari pemikiran sampai perbuatan yang jelek dilakukan walau banyak yang mengetahui secara pasti kelakuannya.
Hal-hal yang buruk dilakukan sudah menjadi biasa, dianggap angin lalu saja, dan itu menjadi contoh yang luas bagi orang lain. Banyak sekali juga kita lihat para pemimpin sekarang juga tidak tahu malu, sudah jelas perbuatan yang tidak seronok, tapi masih tetap ngeles dan memasang muka suci di hadapan kamera yang seolah menuntut mereka untuk berakting bukan sebagai diri mereka.
Sudah saatnya kita menjadi pribadi yang jujur apa adanya, bukan bertindak seolah-olah apa adanya. Jujur adalah kunci dari ketulusan, jujur yang beradab, jujur yang berani untuk malu sebelum berbuat yang jelek.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Micakake Wong Melek”, menjadi jujur kepada pasangan adalah kunci bahwa tidak akan melakukan sesuatu yang jelek dan dianggap biasa. Jangan bangga bisa menipu pasangan dengan tanpa diketahui, karena itu sesungguh nya bibit untuk suatu keretakan dan awal kehancuran. Bersikap apa adanya, dan saling mendukung dalam keterbukaan.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak dan murid yang sering melanggar atau tidak memenuhi janji-nya atau ajaran orang tua dan guru, dan menganggap itu biasa, haruslah segera berubah, karena budaya tidak tahu malu ini akan kebodohan sendiri akan menjerumuskan dalam tingkat kebodohan yang akut, sehingga nanti menjadi pribadi yang tidak memiliki rasa tanggung jawab, yang bisa berefek pada kehidupannya maupun keluarganya nantinya.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mengumbar dan bangga akan kejelekan dengan sikap biasa akan dapat membawa kehancuran dalam bermasyarakat. Budaya tahu malu, akan perbuatan jelek harus di tanamkan, sangat diperlukan sikap jiwa besar untuk mengakui secara jujur akan perbuatan jelek dan segera memperbaiki, maka ini bisa membawa dan menyelamatkan kehidupan bermasyarakat.
50. “Aja Dumeh”
Artinya: Jangan mentang-mentang..
Kerendahan hati yang tulus sangat diperlukan sebagai salah satu alat untuk membuka diri dalam memperlajari nilai kehidupan yang saling menghargai. Banyak yang punya kelebihan sedikit (jabatan, ekonomi, status) saja sudah selalu menyombongkan bahkan cenderung memandang rendah yang lain alian mentang-mentang.
Lebih banyak kita menyaksikan, bahwa banyak diantara kita pinter berbahasa baik lisan maupun tulisan, dan dengan cara berbahasa ini pula kita mentang-mentang secara sembunyi melecehkan yang lain, dengan rangkaian dan permainan kata, padahal isinya kosong, bahkan tidak paham, bisa jadi mentang-mentang-nya merasa lebih tua, lebih banyak asam garam dunia. Namun apakah seorang yang sudah banyak makan asam garam butuh pengakuan, bukankah justru harus menjadi teladan yang tidak butuh pengakuan diri, tidak bisakah mengatakan iya adalah iya dan tidak katakan tidak. Karena ini juga menjadi dasar contoh bagi orang lain saat “merasa” memliki sesuatu akan memandang rendah yang lain (mentang-mentang).
Kembali pada kerendahan hati, yang perlu kita junjung, namun untuk bisa hati yang berjiwa besar, tentu segala tingkat perasaan harus di olah, dan untuk bisa mengolah itu, perlu tingkah laku yang baik pula, dan tentu harus ada pengertian yang tepat guna juga.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Ojo Dumeh”, haruslah saling untuk selalu menghargai peran masing-masing, jangan merasa lebih banyak berperan atau lebih banyak “berjasa” atas keluarga sehingga ingin diperlakukan lebih atau malah menganggap rendah peran pasangannya. Setiap peran sekecil apapun adalah satu laku dalam satu kepemimpinan yang tunggal dalam keluarga, jadi jangan di pisah-pisahkan.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua atau guru yang punya sikap mentang-mentang, akan menjadi virus yang akan menularkan kepada anak dan murid mereka. Maka penting sekali bagi orang tua dan guru agar hati-hati dalam menyikapi segala kesuksesan, sehingga tidak secara sengaja melecehkan yang berakibatkan menjadi contoh/teladan yang tidak baik, yang bisa merusak pembangunan karakter diri si anak dan murid.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), bermasyarakat yang baik adalah tanpa mengwarnai, maupun dikotakan keluarga lainnya, semua dilakukan karena atas dasar untuk hidup beradab. Bermasyarakat yang beradab dimulai dari kita menghilangkan sikap mentang-mentang karena status ekonomi, jabatan, status sosial, maupun kelebihan apapun. Indahnya hidup dalam kesatuan ukuran.
51. “Yuyu Rumpung, Mbarong Ronge”
Artinya: Kediaman besar/mewah, namun sejati-nya miskin.
“Gengsi kalau dijual di pasar sekilo berapa ya Kisanak?” Demikian sebuah pertanyaan dilemparkan kepada seseorang pada saat meminta pendapat dari seorang bijak, yang mana dia merasa malu atau gengsi merasa disaingi karena tidak bisa seperti orang lain yang memiliki hal-hal mewah.
Terlihat memang terdiam dan sulit dilepaskan gengsi itu oleh yang bersangkutan, dia hanya mengerutkan kening menyadari bahwa memang tidak ada manfaatnya gengsi itu.
Saudaraku semua, sepenggal pengalaman diatas mewakili gambaran kehidupan kita sampai saat ini.. Menjalani hidup apa adanya (bukan pesimis) dengan bahagia menjadi sangat sulit, karena gengsi yang tertanam dari induksi globalisasi yang diserap secara membabi buta. Maka jangan heran demi atas nama ber-“Gaya”, tidak jarang orang menjerat diri mereka untuk lebih konsumtif padahal belum punya kemampuan.. Maka akibatnya utang menumpuk, kehidupan terganggu karena beban.
Demikian dalam kehidupan spiritual, lebih banyak dari para pelaku mementingkan tampilan luar, ketimbang mempercantik tampilan dalam. Bergaya dalam banyak hal namun isinya kosong yang tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Emm… sungguh disayangkan…
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Yuyun Rumpung, Mbarong Ronge”, Mari kita hindari rasa iri dulu kepada yang lain, dan mensyukuri apa yang ada pada keluarga dan pasangan hidup kita (sekali lagi bukan pesimis), berangkat dari sanalah kita tidak perlu memewahkan diri/pasangan kita padahal tidak memiliki kemampuan, karena kalau dipaksakan maka akan menjadi jerat yang akan menghancurkan kehidupan rumah tangga itu sendiri.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru mengajarkan semaksimalkan bagaimana berdaya guna memanfaatkan semua kemampuan untuk menunjang kehidupan duniawi maupun rohani, dengan takaran yang tepat maka anak dan murid akan terhindar dari over acting melebihi kemampuan meraka dikemudian hari.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ingin memiliki tempat tinggal dan hal materi lain yang mewah (kaya) melebih tetangga atau orang lain, itu tidaklah salah, namun kalau diluar kemampuan dan memaksakan diri, itu akan membuat diri menjadi frustasi, mutung, dan akhirnya muncul kebencian yang sangat, itulah yang salah. Hal itu dikarenakan akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat. Jangan iri, jangan gengsi dan jangan pula minder… Bahagia dengan apa yang kita punyai dan kembangkan secara sehat. Disamping itu juga bagi yang mampu memberi contoh dalam kemurah hatian diri kita, sehingga yang akan ditiru tidak hanya tampak luar rumah, tapi manusia yang berkwalitas didalam rumah.
52. “Belo Melu Seton”
Artinya: Ikut-ikutan tapi tidak paham.Manusia latah sekarang banyak, ikutan nyemplung padahal tidak bisa berenang, ikutan dalam suatu hal padahal tidak tahu/jelas. Ini juga menjadi cikal bakal timbulnya manusia yang sok tahu dan angkuh, Ingin tampil mempersona, dan memikat dengan sikap yang sebenarnya tidak mencerminkan isi diri, akhirnya kejebak sendiri dalam kebodohannya sendiri.
Mengabaikan teman, saudara sendiri yang memberikan nasehat agar untuk tidak ikut-ikutan karena tidak paham, ataupun suruh untuk bertindak apa adanya, merupakan tindakan kesengajaan mengabaikan perkembangan diri sendiri. Banyak menyerap dan belajar dari segala hal perlu agar menghindari kita untuk sekedar ikut-ikutan.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Belo Melu Seton”, wajar dalam tindakan dan perbuatan terhadap pasangan, misalnya tidak mencampuri perkerjaan suami/atau istri yang memang bukan keahlian kita. Sehingga tidak terjadi konflik dikemudian hari, dengan salah-salah-an.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), selagi belajar anak dan murid hendaknya selalu senantiasa memposisikan diri, jangan bertindak lebih tahu atau ikut dalam urusan orang tua dan guru yang memang tidak paham.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), jangan mencampuri urusan keluarga lain yang kita sendiri tidak tahu duduk masalahnya atau tidak nyambung, karena kita tidak mengikuti akar permasalahannya. Kalau sering kita mencampuri itu artinya kita sengaja untuk mengacaukan apa yang sedang dibangun ataupun menambah kerusakan karena bisa timbul gosip.
53. “Kutuk Marani Sunduk, Ula Marani Gebuk”
Artinya: Menerjang mara bahaya/menentang maut.
Aksi-aksi nekat sering kita lihat dilakukan orang-orang tertentu yang menentang maut/bahaya, tentu saja kalau dilakukan dengan skill yang baik maka itu menjadi suatu hiburan yang memacu adrenalin. Nah.. repotnya adalah aksi ini ditiru orang yang tidak mengerti atau tidak punya skill, padahal mereka paham posisi-nya menentang maut/bahaya, akhibatnya kita melihat kekonyolan dan kebodohan yang terjadi.
Dalam kehidupan kita, banyak juga dari kita yang sebenarnya sudah paham suatu tindakan jahat yang bisa berakhibat maut/bahaya bagi kehidupan rohaniah kita tapi tetap dilakukan karena demi kepuasan indra-indra fisik sebagai kesenangan, sungguh disayangkan tindakan kebodohan ini. Dan lebih konyol itu menjadi contoh bagi yang tidak paham untuk melakukan yang sama, sehingga terjebak dalam lingkaran kebodohan rohaniah yang tidak terputus-putus.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Kutuk Marani Sunduk, Ula Marani Gebuk”, janganlah kita sampai melakukan tindakan bodoh, karena ingin dianggap penting oleh pasangan, sikap mental bahwa “tanpa aku, kamu gak akan hidup”, itu justru akan menjadi hal mendatangkan bahayanya yang akan datang bagi batera rumah tangga. Mari menganggap pasangan kita penting, tidak perlu ber”aku”-“aku”an.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak dan murid dalam lingkungan melakukan seperti yang diajarkan adalah mereka yang akan maju pesat untuk menjadi seperti orang tua dan guru mereka. Jika orang tua dan guru tidak bisa menahan diri melakukan kekonyolan maka anak dan murid akan melakukan hal sama atau melebihi. Kalau orang tua dan guru punya sifat Rhawana, maka anak dan murid bisa jadi bersifat angkara murka dan itu berbahaya bagi kehidupan mereka sendiri. Maka bertindaklah bijak.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ancaman terbesar dalam bermasyarakat ini adalah saat kita sudah tidak perduli akan keselamatan diri dan orang lain. Kita banyak menyaksikan tindakan nekad yang menentang maut yang sebenarnya membahayakan diri sendiri dan orang lain, yang dilakukan secara sengaja berakibat hilangnya nyawa diri dan orang lain, akhirnya mewariskan akumulasi sifat-sifat tega terhadap sesama, dan akan menjadi tumpul kehidupan rohaniah kita.
54. “Nandur Pari Jero”
Artinya: Menanam kesabaran/kebaikan.
Jaman yang serba instan dan kecepatan gerak-gerik mengharuskan segala hal harus segera dan seperti penting dan mendesak, sehingga tidak heran kadang secara hasil yang berkwalitas sering di abaikan. Kesabaran sering diibaratkan perlambatan atau tidak agresif. Pemahaman akan kesabaran yang tidak tepat dan menganut paham sabar yang tidak tepat juga mengakibatkan menjadi kita bermental malas, bertele-tele, pencari alasan.
Kesabaran adalah menghasilkan kwalitas yang baik karena memang secara proses hukum keseimbangan demikian adanya. Itu tergambar jelas pada falsafah ini, bahwa kwalitas unggul padi (padi varietas jawa) memang dibutuhkan proses untuk menghasilkan padi yang hasil maximal.
Jadi kesabaran kita adalah untuk peningkatan kwalitas diri kita semakin baik, maka ikutilah proses penyempurnaan diri secara bertahap karena kita telah banyak rusak oleh induksi yang tidak baik.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Nandur Pari Jero”, kesabaran dengan penuh cinta kasih yang terbangun dalam proses membangun keluarga sangat penting dimulai dari tidak adanya egoisme yang muncul dalam diri masing-masing yang butuh pengakuan. Kembali lagi komunikasi secara tuntas dalam kesabaran akan membangun karakter keluarga pasangan yang kuat.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), sangat wajar kalau seorang anak dan murid ingin segera mengetahui dari segala ketidak tahuan mereka. Mereka dengan semangat belajar yang tinggi, kadang melupakan dasar-dasar berpijak yaitu proses melewati setiap langkah yang harus di lewati yang telah disiapkan orang tua maupun guru mereka. Lewati itu semua dengan penuh kesabaran, maka akan mengetahui segala hal.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), sifat dasar manusia yang berkelompok adalah meniru apa yang ada di kelompok lain. Demikian keluarga akan meniru keluarga lain baik dari hal yang benar maupun tidak. Untuk saling membangun masyarakat beradab, maka mari kita bangun keluarga kita dengan menanam kesabaran yang menghasilkan kwalitas unggul dalam diri tanpa harus menvonis keluarga lain.
55. “Aji Mumpung”
Artinya: Manfaatkan kesempatan demi kepentingan pribadi.
Memanfaatkan orang lain demi suatu kepentingan yang jelek atau tidak baik adalah suatu tindakan yang menandakan bahwa tidak memiliki itikad yang baik dan punya masalah dalam kehidupan pribadinya sendiri. Memakai kedok dan cenderung sebagai bertindak sebagai pahlawan untuk mempersonal semua orang, agar pada waktunya bisa memanfaatkan/mengeksploitasi yang terlah terhipnotis.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Aji Mumpung”, istilah ini harus jauh dari kehidupan rumah tangga, jika mau dipakai pun lebih pada memanfaatkan waktu atau benda secara maximal, bukan kepada pasangan.. karena banyak sekarang menikah karena mumpung pasangannya kaya, pejabat, berpangkat, dll.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), hubungan antara orang tua/guru punya norma-norma yang harus tetap di jaga, jangan sampai tujuan utama-nya hilang lantaran penghalang yang dibuat sendiri dalam sekat-sekat saling memanfaatkan.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), nah.. ini sudah terjadi dan sedang berlangsung di sekitar kita, mari kita hindari…
Semoga Bermanfaat…
Berkah Dalem Gusti.