Pertanyaan pada
judul diatas sebenarnya bisa sangat penting untuk di-‘ingin-tahu-i’
bagi seharusnya seseorang yang mau untuk memahami hakekat hidupnya di
dunia ini. Pertanyaan ini muncul begitu saja setelah saya membaca
kembali, mendengar, merenung atas lagu yang dicipta dan digubah begitu
luar biasa oleh Sujiwo Tejo. Lagu berjudul ‘Pada Suatu Ketika’.
Lagu ini dibuka
dengan semacam kegelisahan ketika orang melihat bahwa segala macam
angkara murka, pertikaian, kekerasan di atas bumi ini, mengapa tak juga
segera berakhir. Sepertinya tak akan pernah berakhir. Ketika disana
terdapat sebuah perbedaan pendapat dan sikap dalam melihat suatu hal,
maka potensi pemaksaan kehendak, yang bisa jadi berujung pada kekerasan
akan selalu muncul. Mungkin itulah yang disebut angkara murka. Sebuah
kegagalan seseorang dalam memahami hakekat hidupnya, saat dia tidak bisa
untuk memunculkan semangat berbagi dalam dirinya. Sikap berbagi untuk
hidup bersama dalam satu dunia di atas bumi ini.
Wong takon
wosing dur angkoro
(Orang-orang bertanya kapan angkara murka berakhir)
Antarane riko aku iki
(Di antara kau dan aku)
Sumebar ron-ronaning koro
(Tersebar daun-daun kara)
Janji sabar, sabar sak wetoro wektu
(Bersabarlah untuk sementara waktu)
Maka ketika
sebagian orang bisa melihat bahwa hal itu mungkin tak akan pernah
berakhir, hakekat kemanusiaan yang ada dalam manusia yang sadar, akan
membawa kepada sikap sabar. Karena sikap sabar, pada dasarnya bisa
diterjemahkan sebagai suatu pilihan sikap bagi seseorang yang mampu
untuk memunculkan semangat berbagi hidup di dunia ini ketika menghadapi
dan bertemu, hidup berada di tengah orang-orang yang tidak mampu
berbagi.
Dan harapan
pada suatu saat nanti akan datang suatu masa di mana semua orang akan
meninggalkan angkara murka dan mampu untuk berbagi. Pilihan untuk
bersabar dan selalu memupuk harapan tentang suatu masa dimana angkara
murka akan hilang di atas bumi ini.
Kolo mangsane, ni mas
(Suatu ketika, dinda)
Titi kolo mongso
(Pada suatu ketika)
Saya sendiri,
ketika mencoba menggapai makna kata “Titi Kolo Mongso”, tafsir itu
sepertinya tidak bisa diterjemahkan dengan kalimat yang bisa dimaknai
sederhana seperti “Pada suatu Ketika”. Walaupun saya melihat Sujiwo Tejo
sendiri sepertinya sampai kepada ‘jalan buntu’ dalam rangka mencari
terjemahan kata ‘Titi Kolo Mongso’ ini dengan ‘terpaksa’ harus membawa
makna itu sehingga menjadi sangat biasa, dengan terjemahan ‘Pada Suatu
Ketika’.
‘Titi Kolo
Mongso’ bagi saya tidak sekedar upaya menyampaikan maksud akan dimensi
waktu ‘Pada Suatu Ketika’. ‘Titi Kolo Mongso’ juga berisi semacam
pengharapan, terkadang mengandung sebuah janji, atau pun bisa dipahami
sebagai sebuah ancaman. Kalimat ini tidak sekedar bicara tentang waktu.
Tapi juga berusaha bercerita tentang keadaan akhir. Imajinasi tentang
‘keadaan akhir’ bisa dilihat sebagai sebuah pengharapan ketika hal itu
penuh berisi keadaan yang sangat kita inginkan. Misalnya keadaan akhir
tentang keindahan, ketenangan, berakhirya angkara murka, dan sebagainya.
‘Titi Kolo Mongso’ bisa dilihat dari perspektif itu.
Tapi dilain
pihak, ‘Titi Kolo Mongso’ bisa dilihat sebagai sebuah ancaman, atau
bahasa halusnya adalah pengingat bagi kita semua manusia, ketika keadaan
akhir itu bisa dilihat sebagai sebuah ujung berjalanan yang muram.
Imajinasi buruk tentang sebuah kenyataan ketika semua orang justru
terseret pada sikap angkara murka. Perpecahan, pertentangan, kekerasan,
pertikaian, pembunuhan, semangat merusak, tidak semakin berkurang, tapi
semakin bertambah, dan akan berhenti ketika salah satu pihak mati. Dan
karena manusia tidak mungkin hidup sendiri, ketika salah satu mati
sehingga satu manusia menjadi sendiri, maka tak lebih dia pun mati.
Perspektif ini juga bisa dilihat sebagai “Titi Kolo Mongso”.
Sehingga ketika
pertanyaan itu menyeruak: Apa yang sebenarnya ditunggu manusia? Maka
jawabannya bisa sebuah “Titi Kolo Mongso” yang tidak bisa diterjemahkan
menjadi sesuatu yang terlalu sederhana semacam “Pada Suatu Ketika”.
Pamujiku dibiso
(Doaku semoga)
Sinudo kurban jiwanggo
(Semakin berkurang korban jiwa raga)
Pamungkase kang dur angkoro
(Pengakhir angkara murka)
Titi kolo mongso
(pada suatu ketika)
Sujiwo Tejo
mencoba memberikan kita gambaran cakrawala yang lebih cerah tinimbang
kita terlalu murung memikirkan tentang masa depan yang muram. Dia
berusaha melihat “Titi Kolo Mongso” pada sebuah ujung pengharapan yang
indah. Dia percaya bahwa suatu ketika angkara murka akan berakhir.
Walaupun akhir ini kita bisa melihat dari dua perspektif. Akhir dilihat
pada sebuah ruang lingkup fisik dunia ini, dimana semua orang
menghentikan angkara murka dan mulai bisa hidup berbagi. Atau perspektif
akhir dilihat dari sisi ruang lingkup semesta tiap diri sendiri, dimana
akhir angkara murka ditandai dengan kematian –karena setiap orang pasti
mati- tiap individu.
Dan saya juga
melihat sebuah janji yang setengah hati, ketika diakhir bait lagu, masih
juga terdapat kata “Titi Kolo Mongso”. Ini seperti analogi seseorang
yang berjanji begitu rupa tentang segala hal keindahan kepada
pasangannya, entah itu hidup bahagia, selalu mencinta, setia selamanya.
Tapi diakhir kalimat tersembul kata singkat “Kalau bisa..”.
Sebuah janji
setengah hati yang bisa saya pahami karena pada dasarnya manusia selalu
harus bisa untuk berharap tentang sebuah keadaan baik di ujung
perjalanan nanti. Tapi melihat segala hal di sekitar kita sepanjang
perjalanan hidup ini, terkadang mungkin wajar bila kita pun ragu apa hal
itu suatu saat akan terjadi. Mungkin Suatu Ketika Nanti,.. Titi Kolo
Mongso. Mungkin karena itu juga, Sujiwo Tejo mendendang lagu ini dengan alunan yang terasa murung.
Pitoyo Amrih
Tafsir bebas atas lagu "Pada Suatu Ketika" dicipta dan dilagukan oleh Sujiwo Tejo.
Video diunggah oleh javaforester, courtesy : youtube.com