Selasa, 16 Juni 2015

Lirik Titi Kolo Mongso - Suatu Ketika, apakah itu yang Ditunggu Manusia?

http://d.gr-assets.com/authors/1268227118p5/693487.jpgSetelah membaca salah satu buku kumpulan artikel saya, yang berjudul "Ilmu Kearifan Jawa", salah seorang sahabat meminta pendapat saya tentang tafsir lagu Sujiwo Tejo berjudul "Pada Suatu Ketika". Sebuah lagu yang luar biasa. Ketika pertama kali menjadi hit kala itu, bahkan lagu ini dan seluruh lagu di album yang sama, selalu saya putar berulang-ulang. Saya merasa ada sesuatu dalam lagu ini. Sebuah renungan yang juga terdapat pada seluruh lagu dalam satu album itu. Mas Sujiwo Tejo memang sosok yang fenomenal. Tapi entahlah, apakah lagu yang dibuat itu memang sengaja dicipta untuk dimaknai dan direnungi begitu dalam, ataukah dia lebih berfokus hanya pada estetika vokal konsonan pemilihan kata. Tapi yang jelas, bagi saya, lagu ini mengandung makna lebih dari sekedar apa yang ditulis dan dinyanyikan. Bahkan lebih dari apa yang sudah terdengar ditelinga. Tafsir bebas itu coba saya tulis dalam artikel berikut:


Pertanyaan pada judul diatas sebenarnya bisa sangat penting untuk di-‘ingin-tahu-i’ bagi seharusnya seseorang yang mau untuk memahami hakekat hidupnya di dunia ini. Pertanyaan ini muncul begitu saja setelah saya membaca kembali, mendengar, merenung atas lagu yang dicipta dan digubah begitu luar biasa oleh Sujiwo Tejo. Lagu berjudul ‘Pada Suatu Ketika’.

Lagu ini dibuka dengan semacam kegelisahan ketika orang melihat bahwa segala macam angkara murka, pertikaian, kekerasan di atas bumi ini, mengapa tak juga segera berakhir. Sepertinya tak akan pernah berakhir. Ketika disana terdapat sebuah perbedaan pendapat dan sikap dalam melihat suatu hal, maka potensi pemaksaan kehendak, yang bisa jadi berujung pada kekerasan akan selalu muncul. Mungkin itulah yang disebut angkara murka. Sebuah kegagalan seseorang dalam memahami hakekat hidupnya, saat dia tidak bisa untuk memunculkan semangat berbagi dalam dirinya. Sikap berbagi untuk hidup bersama dalam satu dunia di atas bumi ini.

Wong takon 
wosing dur angkoro
(Orang-orang bertanya kapan angkara murka berakhir)
 
Antarane riko aku iki
(Di antara kau dan aku)

Sumebar ron-ronaning koro
(Tersebar daun-daun kara)

Janji sabar, sabar sak wetoro wektu
(Bersabarlah untuk sementara waktu)

Maka ketika sebagian orang bisa melihat bahwa hal itu mungkin tak akan pernah berakhir, hakekat kemanusiaan yang ada dalam manusia yang sadar, akan membawa kepada sikap sabar. Karena sikap sabar, pada dasarnya bisa diterjemahkan sebagai suatu pilihan sikap bagi seseorang yang mampu untuk memunculkan semangat berbagi hidup di dunia ini ketika menghadapi dan bertemu, hidup berada di tengah orang-orang yang tidak mampu berbagi.

Dan harapan pada suatu saat nanti akan datang suatu masa di mana semua orang akan meninggalkan angkara murka dan mampu untuk berbagi. Pilihan untuk bersabar dan selalu memupuk harapan tentang suatu masa dimana angkara murka akan hilang di atas bumi ini.


Kolo mangsane, ni mas
(Suatu ketika, dinda)

Titi kolo mongso
(Pada suatu ketika)


Saya sendiri, ketika mencoba menggapai makna kata “Titi Kolo Mongso”, tafsir itu sepertinya tidak bisa diterjemahkan dengan kalimat yang bisa dimaknai sederhana seperti “Pada suatu Ketika”. Walaupun saya melihat Sujiwo Tejo sendiri sepertinya sampai kepada ‘jalan buntu’ dalam rangka mencari terjemahan kata ‘Titi Kolo Mongso’ ini dengan ‘terpaksa’ harus membawa makna itu sehingga menjadi sangat biasa, dengan terjemahan ‘Pada Suatu Ketika’.

‘Titi Kolo Mongso’ bagi saya tidak sekedar upaya menyampaikan maksud akan dimensi waktu ‘Pada Suatu Ketika’. ‘Titi Kolo Mongso’ juga berisi semacam pengharapan, terkadang mengandung sebuah janji, atau pun bisa dipahami sebagai sebuah ancaman. Kalimat ini tidak sekedar bicara tentang waktu. Tapi juga berusaha bercerita tentang keadaan akhir. Imajinasi tentang ‘keadaan akhir’ bisa dilihat sebagai sebuah pengharapan ketika hal itu penuh berisi keadaan yang sangat kita inginkan. Misalnya keadaan akhir tentang keindahan, ketenangan, berakhirya angkara murka, dan sebagainya. ‘Titi Kolo Mongso’ bisa dilihat dari perspektif itu.

Tapi dilain pihak, ‘Titi Kolo Mongso’ bisa dilihat sebagai sebuah ancaman, atau bahasa halusnya adalah pengingat bagi kita semua manusia, ketika keadaan akhir itu bisa dilihat sebagai sebuah ujung berjalanan yang muram. Imajinasi buruk tentang sebuah kenyataan ketika semua orang justru terseret pada sikap angkara murka. Perpecahan, pertentangan, kekerasan, pertikaian, pembunuhan, semangat merusak, tidak semakin berkurang, tapi semakin bertambah, dan akan berhenti ketika salah satu pihak mati. Dan karena manusia tidak mungkin hidup sendiri, ketika salah satu mati sehingga satu manusia menjadi sendiri, maka tak lebih dia pun mati. Perspektif ini juga bisa dilihat sebagai “Titi Kolo Mongso”.

Sehingga ketika pertanyaan itu menyeruak: Apa yang sebenarnya ditunggu manusia? Maka jawabannya bisa sebuah “Titi Kolo Mongso” yang tidak bisa diterjemahkan menjadi sesuatu yang terlalu sederhana semacam “Pada Suatu Ketika”.


Pamujiku dibiso
(Doaku semoga)

Sinudo kurban jiwanggo
(Semakin berkurang korban jiwa raga)

Pamungkase kang dur angkoro
(Pengakhir angkara murka)

Titi kolo mongso
(pada suatu ketika)


Sujiwo Tejo mencoba memberikan kita gambaran cakrawala yang lebih cerah tinimbang kita terlalu murung memikirkan tentang masa depan yang muram. Dia berusaha melihat “Titi Kolo Mongso” pada sebuah ujung pengharapan yang indah. Dia percaya bahwa suatu ketika angkara murka akan berakhir. Walaupun akhir ini kita bisa melihat dari dua perspektif. Akhir dilihat pada sebuah ruang lingkup fisik dunia ini, dimana semua orang menghentikan angkara murka dan mulai bisa hidup berbagi. Atau perspektif akhir dilihat dari sisi ruang lingkup semesta tiap diri sendiri, dimana akhir angkara murka ditandai dengan kematian –karena setiap orang pasti mati- tiap individu.

Dan saya juga melihat sebuah janji yang setengah hati, ketika diakhir bait lagu, masih juga terdapat kata “Titi Kolo Mongso”. Ini seperti analogi seseorang yang berjanji begitu rupa tentang segala hal keindahan kepada pasangannya, entah itu hidup bahagia, selalu mencinta, setia selamanya. Tapi diakhir kalimat tersembul kata singkat “Kalau bisa..”.

Sebuah janji setengah hati yang bisa saya pahami karena pada dasarnya manusia selalu harus bisa untuk berharap tentang sebuah keadaan baik di ujung perjalanan nanti. Tapi melihat segala hal di sekitar kita sepanjang perjalanan hidup ini, terkadang mungkin wajar bila kita pun ragu apa hal itu suatu saat akan terjadi. Mungkin Suatu Ketika Nanti,.. Titi Kolo Mongso. Mungkin karena itu juga, Sujiwo Tejo mendendang lagu ini dengan alunan yang terasa murung.



Pitoyo Amrih
Tafsir bebas atas lagu "Pada Suatu Ketika" dicipta dan dilagukan oleh Sujiwo Tejo.
Video diunggah oleh javaforester, courtesy : youtube.com

"Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu"