“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 2
Oleh: Nata Warga
11. “Ngalasake Negara”
Artinya: “Tidak nurut aturan negara”
Kehidupan berbangsa dan bertanah air adalah suatu komitmen hidup
bersama dibawah naungan suatu ideologi yang telah di rumuskan oleh
pendahulu kita, sehingga itulah komitmen yang harus di pegang setiap
insan kebangsaan.
Hari-hari kita selalu disuguhi informasi mengenai kondisi bangsa dan
negara, kita sering merasa ngreget, geram tentang tingkah laku yang
dilakukan oleh dari level bawah sampai atas kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Keprihatinan kita bahwa kandungan komitment dari ideologi telah di
ingkar (tidak nurut) menjadi sumber dari masalah negara saat ini.
Salah satu ideologi untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, telah
menjadi menciptakan “aku” adil dan makmur dengan segala cara adalah
bentuk dari pelanggaran terhadap negara.
Kita semua harus kembali lagi kepada semangat yang sama yaitu semangat
“Gotong Royong” dalam segala aspek hidup, karena gotong royong bisa di
katakan unsur pengikat dalam kebebasan/kemerdekaan yang dalam
kemanunggalan.
– Dalam kehidupan berumah tangga,”Ngalasake Negara”, Keluarga adalah
unsur terkecil atau miniatur dari suatu negara, jika semua keluarga
melaksanakan kehidupan kenegaraan secara baik, maka negara tentu kuat.
Seorang motivator keluarga dipanggil Ayah Eddy mempunyai motto:
“Indonesia Strong From Home”, yang menjadi perenungan bagi saya bahwa
keluarga punya peran penting menentukan nasib suatu negara.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), pendidikan ->
transfer ilmu -> ngasuh kawruh, menjadi kunci dari menghindari adanya
ketidak nurutnya terhadap negara. Maka penting bagi orang tua / guru
memberikan pandangan kenegaraan yang tepat, dari sekedar menciptakan
fanatisme dan menciptakan utopia yang tak ada manfaat tentang
kenegaraan.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
kembali lagi mari kita bergotong royong. Mari kita ciptakan tertip dan
disiplin pada aturan. Mulai dari keluarga masing-masing, maka akan
berdampak besar karena secara akumulatif menciptakan kondisi yang
kondusif. Mother Theresa mengatakan: “Dunia ini akan bersih, jika setiap
orang (Rumah) mengambil sapu dan menyapu halamannya sendiri”
12. “Obah Ngarep Kobet Mburi”
Artinya: Bersusah dahulu, bersenang kemudian.
Apa yang telah menjadi komitmen hidup untuk mencapai kesejatian diri sudah jelas bahwa semua kembali kepada diri sendiri. Pepatah tua mengatakan, sebelum mengalahkan apapun maka harus mengalahkan diri sendiri.
Memanjakan diri dengan suguhan dispensasi yang sering diberikan dengan
mantra ajaib: “gimana entar saja” akan membuat manusia semakin tidak
peka dan tidak “sadar diri”.
Jika seseorang tidak mau mengakhiri secara sungguh-sungguh kemanjaan
diri yang memabukan, maka sungguh tragis nanti kehidupan yang
sesungguhnya.
Kesusahan yang dirasa bagi suatu kesungguh untuk mencapai kesejatian
diri adalah kesusahan fisik semata (materi). Jika seseorang berani
mempertaruhkan diri, itu ibaratnya dia sedang menyusun batu demi batu
untuk jalannya sendiri agar menjadi mulus.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Obah Ngarep Kobet Mburi”,
kata-kata aku akan selalu setia dalam untung dan malang, sehat dan
sakit, sampai kematian memisahkan kita.. Suatu pernyataan hidup yang
menyatakan diri untuk senantiasa siap dalam kesusahan apapun untuk
mencapai keluarga yang berkwalitas.
Masing-masing harus siap untuk suatu kesusahan yang semu, demi untuk saling membangun diri yang sejati.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), senantiasa akan
mengajarkan kedisplinan bagi anak/murid, dan hal ini tentunya bisa
dianggap sebaga suatu kesusahan yang membatasi semua “semau gue-nya”
anak/murid. Maka kadang larangan bukanlah ditujukan untuk sebagai
ajaran, tapi lebih menunjukan bahwa anak/siswa belum bertumbuh atau
belum mengerti.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
kondisi susah dalam hal ini jangan dianggap bahwa kita berbuat
menyusahkan orang lain itu benar adanya, hal itu sama sekali tidak sama.
Sesama penghuni kehidupan ini, hendaknya kita saling support untuk
mencapai agar lebih baik dalam bermasyarakat. Mari kita tetap saling
bergandeng tangan dalam menapaki kehidupan ini. Berat sama dipikul,
kalau ringan kita jangan bebankan/beratkan yang lain.
13. “Kethek Saranggon”
Artinya: Kumpulan orang yang berlaku Jahat.
Jahat disini adalah orang yang melakukan balas dendam yang tak pernah
habis dan orang yang merebut hak yang bukan miliknya dengan cara
pemaksaan (apapun). Kekhawatiran terbesar dari kita adalah bahwa siklus
dendam dan rakus dari manusia yang tidak habis akan menyebabkan
keterkaitan Karma Buruk bagi kesatuan umat manusia, yang menyebabkan
degladasi Atma yang terus menerus merosot.
Sejak awal bahwa banyak ajaran yang tidak memiliki sifat larangan –
Jangan – Ojo – Tidak – dsb-nya, namun beriring dengan terbentuknya
kelompok-kelompok yang lepas dari ajaran Budhi, maka pada tingkat ajaran
yang lebih bawah muncullah ajaran yang bersifat kata negatif atau
larangan tadi, contohnya bisa dikatakan awal ajaran adalah
Maafkan/Ampuni orang lain, karena kemerosotan maka kata depannya ada
kata larangan seperti Jangan Mendendam/membalas (Ojo mbalas dendam).
Sekarang inilah saatnya setiap dari kita agar keluar dari lingkaran
laku jahat (dendam dan rakus), jika sudah demikian maka saatnyalah kita
ada penyadaran diri tidak karena larangan bahkan ancaman. Karena kalau
kita terus menerus dalam lingkaran laku jahat, maka kita telah
menciptakan pusaran kesengsaraan/penderitaan yang mendalam bagi Atma
diri kita maupun yang ikut terseret didalamnya karena tak berdaya upaya
karena memiliki upaya jahat.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Kethek Saranggon”, senantiasa
selalu menciptakan suasana saling mengampuni dan memberi, jika saat ini
terlibat dalam dendam dan kerakusan, segeralah keluar dari sana, sebelum
terseret dan terjadi kehancuran dalam keluarga. Dendam dan kerakusan
tak mengenal saudara, sahabat, semuanya bisa dilibas dan menjadi korban.
Kita tidak bisa menduga kita menciptakan kerusakan yang parah, jika
tidak segera keluar dari sana.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), yang
mengajarkan dendam dan kerakusan akan merusak anak/murid secara “dalam”.
Efeknya bergenerasi generesi terus menerus, dan ini sangat menyedihkan
semua mahluk, sebab untuk kembali atau membalikan, sangatlah sulit dan
akan banyak memakan korban.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
fungsi budaya, segala seni, dan tataran kemasyarakat yang ada ritual
acara adalah ajaran/pesan dari leluhur kita untuk membangun masyarakat
dalam kumpulan dan kegiatan yang baik, agar masyarakat tidak terjebak
pada kumpulan yang jahat.
Saya sangat bangga dengan beberapa daerah di Sumatera, dan juga
pagelaran wayang di jawa, seni tari, dan kebgiatan budaya, karena
memberi dampak kehidupan yang baik. Kebanggaan juga di tujukan kepada
Pulau Dewata yang terus kegiatan setiap hari tidak lepas dari budaya
kegiatan yang bersifat saling kumpul, seni, kegiatan yang melepaskan
berkembangnya kumpulan yang jahat.
Mari kita dukung segala bentuk upaya orang-orang yang senantiasa akan
melakukan kegiatan-kegiatan seni budaya. Termasuk budaya Sarasehan –
Diskusi harus kita tingkatkan.
14. “Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah”
Artinya: Dalam kesatuan ukuran hidup sentosa, dalam perselisihan hidup sengsara/rusak
Saat terjadi diskusi politik di media televisi, para politikus
berteriak-teriak sambil menunjuk lawan bicaranya, dan yang lain ikut
mensoroki, terkesan memang inilah yang patut di pertontonkan akan moral
sebenarnya manusia Indonesia. Dalam arti jika kita melepaskan semua
sekat dan aturan atau formula dalam kehidupan ini (tanpa hukum), maka
secara jelas bahwa sikap mental dan kondisi batin yang apa adanya yang
menunjuk pada tingkah laku yang berselisih, ketidak puasan, iri, dengki,
ingin mengalahkan. Inilah kita, ya.. inilah kita yang belum hidup dalam
kesatuan ukuran..
Sehari-hari kita banyak hidup dengan memakai topeng, karena kita masih
memelihara prinsip mental yang tidak “Rukun”. Ternyata kita masih dalam
tingkatan merusak.
Namun demikian, beberapa cahaya walau kecil bersinar dari orang-orang
yang mau tetap Rukun atau hidup dalam berkesatuan ukuran, menjadi
secerca harapan bagi terciptanya Ke-Sentosa-an hidup. Apakah anda adalah
salah satunya? Apakah anda MAU menjadi bagian darinya?
Jika IYA maka terSENYUMlah dan lepaslah dari segala masalah.
Seorang bijak berbisik pada saya puluhan tahun lalu:
“Aku adalah AKu yang apa adanya, itu sudahlah cukup…
Walaupun tidak ada yang pedulikan aku didunia ini, aku tetap puas, sebab
Aku senang bukan karena dunia ini baik adanya, tetapi dunia ini baik
adanya karena Aku Senang”.
Perenungan yang baik untuk bisa kita saling tetap RUKUN.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe
Bubrah”, saat terjadi perselisihan, segeralah selesaikan dengan
Komunikasi yang efektif dan tetap tersenyum, jangan biarkan perselisihan
sampai matahari melewati ubun kita atau matahari melewati telapak kaki
kita. Jangan Menunda.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), pendidikan atau
transfer pengertian sangat dipentingkan adalah untuk mengajarkan
Kesatuan Ukuran dalam konteks tidak mengedapankan
maksud-maksud/pengertian dasar, yang cenderung merusak atau agresif
brutal.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
selalulah adanya membuka tali silaturami dengan prinsip ajaran Budhi
yang saling Asah, Asih, Asuh.
15. “Jer Basuki Mawa Bea”
Artinya: Setiap keberhasilan ada harga yang dibayar.
Dalam dunia bisnis, kata-kata “no free lunch” menjadi slogan, bagi
yang mau sukses harus berani bayar harganya… Harga dibayar bisa dari hal
apa saja… Ukuran kesuksesan juga tidak ada standarlisasi, masing-masing
berbeda. Sehingga harga yang dibayar juga tidak sama, walau standar
nilai pencapaian bisa sama.
Kenapa bisa berbeda, karena dari setiap diri berbeda tanggungan, berbeda proses, atau berbeda karma spiritualnya.
Basuki berarti Rahayu, keselamatan, pencapaian pembebasan. Untuk
setiap diri yang menuju pada “Basuki”, harus sangat menyadari bahwa
tanpa adanya pembayaran: siap terima konswekensi apapun, dan
pengorbanan: menyerahkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, maka
tanpa “harga itu” akan mengalami kebuntuhan.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Jer Basuki Mawa Bea”, tanpa
meninggalkan kepentingan diri dan gengsi maka pencapaian kemanunggalan
keluarga. Untuk meninggalkan semua itu (bayar harga) perlu selalu SALING
adaptasi, SALING toleransi, SALING orentasi dalam hidup.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), seorang anak
atau murid yang tidak menyerahkan diri secara penuh, maka sulit mencapai
hasil maximal. Orang tua atau guru harus senantiasa selalu siap untuk
memberikan hal baik untuk mencapai ke-basuki-an anak/murid.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
jangan menuntuk pengorbanan orang lain dulu untuk mencapai masyarakat
adil makmur, tapi mari setiap dari keluarga/masyarakat kecil
berlomba-lomba yang paling cepat memberikan yang terbaik untuk
masyarakat agar mencapai adil dan makmur.
17. “Omahe Dhewe, Meksa Luwih Becik Ing Omahe Dhewe”
Artinya: Sebagus-bagusnya rumah lain, masih tetap bagus rumah sendiri.
“Home sweet home” mungkin adalah kalimat yang bisa menandingi
falsafah diatas… Pernah saya juga mendapatkan 1 kiriman SMS bahwa kita
dengan uang bisa membeli House (Tempat tinggal), tapi belum tentu bisa
membeli Home (tempat kehidupan berkembang)..
Rumah sendiri disini adalah kata yang tidak hanya sebagai kata benda,
tapi bisa berfungsi sebagai kata kerja, kata tempat, seperti yang bisa
bermakna proses kehidupan, juga menunjuk disini dan disitu.
Sehingga sisi makna ini boleh dikatakan kita sering mengkultuskan
kehidupan orang lain, tapi lupa bahwa kita sendiri memiliki kehidupan
yang harus di kembangkan, kehidupan yang harus terus berproses untuk
maju..
Walaupun memang secara materi memang lebih nyaman di rumah sendiri
(dalam arti harus dirawat terus), yang mengajarkan kita hendaklah tetap
selalu bersyukur dengan apa yang kita punya.
Ini juga penyebab budaya Pulang Kampung pada saat liburan, karena merasa nyaman dan bangga milik sendiri.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Omahe Dhewe, Meksa Luwih Becik Ing
Omahe Dhewe”, jika dari salah satu personal di keluarga sudah tidak
betah di rumahnya sendiri, itulah tanda-tanda bahaya yang harus di
waspadai, karena baik semangat hidup dalam kebersamaan dan ketetapan
hati, pastinya ada gangguan. Cara efektif adalah mulai berpikir untuk
merawat bersama, bukan menunggu perawatan dari orang lain (pasangan,
pembantu), ciptakan kenyamanan dengan mulai hidup bersih.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua /
guru haruslah dapat membuat anak-anak/murid nya agar nyaman, sehingga
pada saat transfer pengertian dapat terjadi tanpa adanya gangguan lain.
Cara yang sederhana adalah selalu membuka diri untuk menyambut mereka.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), walau
masing-masing keluarga mempunyai rumah-nya yang terbaik, itu bukan
berarti saling menjelekan atau menjatuhkan, tapi hendaklah saling
menjadi pelengkap untuk membangun kenyamanan di keluarga masing-masing,
sehingga proses kehidupan bersosial dapat terbangun secara sehat. Datang
dan kunjungilah saudara kita yang lain secara rutin, itu juga berdampak
pada kerinduan akan ‘pulang’ kerumah kita.
18. “Obah Mamah”
Artinya: Ada usaha, akan dapat rejeki (makan)
Siapa bilang mencari uang itu sulit, mempertahankan urusan perut itu
sukar? Jika iya, maka boleh jadi karena memang usaha yang tidak
dilakukan (tidak mau gerak), atau yang kedua adalah rakus atau tidak
pernah puas.
Manusia hanya bisa dijatuhkan oleh dirinya sendiri, maka jika orang
mengatakan dia kekurangan maka yang salah adalah dirinya sendiri.
Lalu pertanyaanya muncul, saya sudah berusaha keras, telah banting
daging remukan tulang, kerja keras, tapi saya tetap masih kekurangan,
saya tetap masih miskin, saya tetap makan secara teratur yaitu sehari
makan sehari tidak, sehari makan, sehari tidak.
Padahal katanya kalau ada usaha pasti dapat rejeki (makan).
Mungkin akan di jawab, “Ooohh.. kalau memang bukan rejekinya maka mau di
kejar akan tetap tidak dapat”, atau ada juga mengatakan bahwa “anda
tidak beruntung, coba lagi”. Semua itu sebagai penghibur agar kita tetap
bersemangat.
Usaha tidak hanyalah dari keras tidaknya, lama tidaknya, banting
remuk tidaknya, tapi Usaha adalah suatu aktifitas yang harus didukung
dengan ketepatan seperti gerak mengunyah (Obah), mengunyah aktifitas
yang penuh ketepatan sehingga lidah tidak tergigit sendiri, dan kalau
setiap kunyah dan tergigit lidahnya maka usaha yang tidak tepat atau
ngawur. Jadi ibarat orang kerja keras tanpa hasil malah sengsara, itu
adalah mengunyah dengan lebih banyak tergigit lidahnya.
Untuk bisa tepat, maka belajar dan berlatih, belajar dan berlatih,
kemudian belajar dan berlatih.. Demikian juga dalam kehidupan kita ini.
– Dalam kehidupan berumah tangga,”Obah Mamah”, saling mendukung dan
memberikan semangat adalah penambahan darah seger terus menerus agar
usaha-usaha yang dilakukan secara tepat akan menghasilkan. Pembelajaran
diri untuk peningkatan diri adalah sebagai kewajiban untuk/demi usaha
yang lebih maximal dan menuju pada sikap mental untuk selalu haus akan
ilmu, harus ditanamkan dalam hidup berumah tangga.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid
hendaknya senantiasa berusaha apa yang diamanatkan kepada mereka, karena
itulah yang akan menjadi pengembangan diri secara utuh.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
usaha-usaha yang kita lakukan haruslah berbentuk atau menjadi suatu
karya nyata yang bisa menjadi manfaat bagi orang lain, jika usaha yang
bersifat menhancurkan kesatuan masyarakat, nah ini bukanlah maksud
falsafah yang dimaksud.
19. “Nek Wis Kecekel Kuncunge, Kecekel Sarimu”
Artinya: Saat terpengang ekornya (kepercayaan), maka terpengang sari jiwamu.
Kemajuan manusia ternyata sangat tergantung pada para pemeran utama
(leader) dalam kehidupan kita, demikian halnya kemunduran juga
tergantung dari para pemeran utama.
Hal ini dikarenakan bahwa para pengikut (follower), sangat sekali tergantung akan para pemeran utama.
Maka para pengikut yang telah terpegang sari jiwa-nya, akan sangat
mudah diarahkan oleh para pemeran utama, secara baik maupun jelek.
Ibarat kerbau yang dicucuk hidung, kemana saja akan ikut.
Setiap manusia adalah beperanan utama dalam bidangnya masing-masing,
maka hendaklah bahwa memiliki sifat Budhi welas asih, agar bisa
membangun, memperbaiki kehidupan manusia lainnya dalam jangkauannya.
Maka sederhananya adalah mari kita berlomba berbuat kebajikan.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Nek Wis Kecekel Kuncunge, Kecekel
Sarimu”, jika salah satu pasangan telah percaya, mempercayai, maka
hendak dipakai dengan kesadaran kebenaran, bukan untuk dikhianati.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan
murid adalah penyembuh bagi anak/murid, jangan sebaliknya menjadi
racun/virus yang menghancurkan anak/murid.
Orang tua/guru, juga harus tidak berhenti belajar.. Harus terus senantiasa meningkatkan diri..
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kalau
sebagai pemimpin di masyarakat, maka harus bisa menjadi yang adil dan
bijak bagi semua golongan, bukan mengadu dan memecah kesatuan
bermayarakat.
Hal ini bisa di tempuh dengan tidak menjadi fanatik dan munafik, tapi apa adanya dengan hati nurani yang paling jujur.
20. “Becik Ketitik, Ala Ketara”
Artinya: Kebaikan akan tampak, keburukan akan terlihat.
Pamrih… Adalah kata yang mendasari tindakan dari yang dilakukan oleh
kita, segala hal yang akan di lakukan selalu didasari dengan pamrih.
Padahal tanpa dasar itu maka segalanya akan tanpak jelas nantinya. Yang
berbuat baik berpamrih untuk di hargai, disanjung, diakui, sedangkan
yang berbuat keburukan berpamrih agar tidak ketahuan, niatnya
disembunyikan, menuduh.
Segala hal yang terjadi atau yang kita lakukan akan senantiasa muncul
dan tampak dengan jelas, ibarat baik adalah aroma Durian, ibarat jelek
adalah bau bangkai, akan tercium pula.
Maka maksud dari falsafah ini adalah Jika berbuat baik, maka lakukan
saja, jangan berpikir/menimbang, jika akan ada perbuatan baik, maka
hentikan, janganlah beragumen/dispensasi pada diri untuk memberikan
alasan kuat agar melakukan.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Becik Ketitik, Ala Ketara”,
Perhatianlah dan dengerkanlah dengan penuh pasangan anda. Janganlah
cuek/mengeluh, janganlah suka membantah, tapi hargailah apapun itu,
saling mendengerkan.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), Ketulusan orang
tua/guru menuntun anak/murid akan terlihat jelas dan tampak dari laku
mereka kelak, ibarat merawat tanaman dengan baik, tinggal menunggu bunga
dan berbuah. Anak/murid secara serius menghargai dan mengenang orang
tua/guru, cara menghargai adalah dengan melakukan apa yang di ajarakan,
karena akan tampak jelas hasil dari tuntunan jika dilakukan.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
ibarat pepatah bahwa jika tangan kanan berbuat kebajikan maka jangan
sampai ketahuan tangan kiri, maka perbuatan baik tidaklah harus karena
untuk di hargai dan di pandang, tapi karena memang kita bagian dari satu
tubuh yang utuh (seperti tangan).
Berbuat kebajikan sendiri di bagi atas, tidak melakukan hal yang jelek dan berbuatlah hal yang baik.
Semoga Bermanfaat…
Berkah Dalem Gusti.
1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan Bag. 2
Selasa, Juni 23, 2015
/