Selasa, 23 Juni 2015

1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan Bag. 2

“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 2
Oleh: Nata Warga
11. “Ngalasake Negara”
Artinya: “Tidak nurut aturan negara”
Kehidupan berbangsa dan bertanah air adalah suatu komitmen hidup bersama dibawah naungan suatu ideologi yang telah di rumuskan oleh pendahulu kita, sehingga itulah komitmen yang harus di pegang setiap insan kebangsaan.
Hari-hari kita selalu disuguhi informasi mengenai kondisi bangsa dan negara, kita sering merasa ngreget, geram tentang tingkah laku yang dilakukan oleh dari level bawah sampai atas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keprihatinan kita bahwa kandungan komitment dari ideologi telah di ingkar (tidak nurut) menjadi sumber dari masalah negara saat ini.
Salah satu ideologi untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, telah menjadi menciptakan “aku” adil dan makmur dengan segala cara adalah bentuk dari pelanggaran terhadap negara.
Kita semua harus kembali lagi kepada semangat yang sama yaitu semangat “Gotong Royong” dalam segala aspek hidup, karena gotong royong bisa di katakan unsur pengikat dalam kebebasan/kemerdekaan yang dalam kemanunggalan.
– Dalam kehidupan berumah tangga,”Ngalasake Negara”, Keluarga adalah unsur terkecil atau miniatur dari suatu negara, jika semua keluarga melaksanakan kehidupan kenegaraan secara baik, maka negara tentu kuat. Seorang motivator keluarga dipanggil Ayah Eddy mempunyai motto: “Indonesia Strong From Home”, yang menjadi perenungan bagi saya bahwa keluarga punya peran penting menentukan nasib suatu negara.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), pendidikan -> transfer ilmu -> ngasuh kawruh, menjadi kunci dari menghindari adanya ketidak nurutnya terhadap negara. Maka penting bagi orang tua / guru memberikan pandangan kenegaraan yang tepat, dari sekedar menciptakan fanatisme dan menciptakan utopia yang tak ada manfaat tentang kenegaraan.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kembali lagi mari kita bergotong royong. Mari kita ciptakan tertip dan disiplin pada aturan. Mulai dari keluarga masing-masing, maka akan berdampak besar karena secara akumulatif menciptakan kondisi yang kondusif. Mother Theresa mengatakan: “Dunia ini akan bersih, jika setiap orang (Rumah) mengambil sapu dan menyapu halamannya sendiri”
12. “Obah Ngarep Kobet Mburi”
Artinya: Bersusah dahulu, bersenang kemudian.
Apa yang telah menjadi komitmen hidup untuk mencapai kesejatian diri sudah jelas bahwa semua kembali kepada diri sendiri. Pepatah tua mengatakan, sebelum mengalahkan apapun maka harus mengalahkan diri sendiri.
Memanjakan diri dengan suguhan dispensasi yang sering diberikan dengan mantra ajaib: “gimana entar saja” akan membuat manusia semakin tidak peka dan tidak “sadar diri”.
Jika seseorang tidak mau mengakhiri secara sungguh-sungguh kemanjaan diri yang memabukan, maka sungguh tragis nanti kehidupan yang sesungguhnya.
Kesusahan yang dirasa bagi suatu kesungguh untuk mencapai kesejatian diri adalah kesusahan fisik semata (materi). Jika seseorang berani mempertaruhkan diri, itu ibaratnya dia sedang menyusun batu demi batu untuk jalannya sendiri agar menjadi mulus.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Obah Ngarep Kobet Mburi”, kata-kata aku akan selalu setia dalam untung dan malang, sehat dan sakit, sampai kematian memisahkan kita.. Suatu pernyataan hidup yang menyatakan diri untuk senantiasa siap dalam kesusahan apapun untuk mencapai keluarga yang berkwalitas.
Masing-masing harus siap untuk suatu kesusahan yang semu, demi untuk saling membangun diri yang sejati.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), senantiasa akan mengajarkan kedisplinan bagi anak/murid, dan hal ini tentunya bisa dianggap sebaga suatu kesusahan yang membatasi semua “semau gue-nya” anak/murid. Maka kadang larangan bukanlah ditujukan untuk sebagai ajaran, tapi lebih menunjukan bahwa anak/siswa belum bertumbuh atau belum mengerti.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kondisi susah dalam hal ini jangan dianggap bahwa kita berbuat menyusahkan orang lain itu benar adanya, hal itu sama sekali tidak sama.
Sesama penghuni kehidupan ini, hendaknya kita saling support untuk mencapai agar lebih baik dalam bermasyarakat. Mari kita tetap saling bergandeng tangan dalam menapaki kehidupan ini. Berat sama dipikul, kalau ringan kita jangan bebankan/beratkan yang lain.
13. “Kethek Saranggon”
Artinya: Kumpulan orang yang berlaku Jahat.
Jahat disini adalah orang yang melakukan balas dendam yang tak pernah habis dan orang yang merebut hak yang bukan miliknya dengan cara pemaksaan (apapun). Kekhawatiran terbesar dari kita adalah bahwa siklus dendam dan rakus dari manusia yang tidak habis akan menyebabkan keterkaitan Karma Buruk bagi kesatuan umat manusia, yang menyebabkan degladasi Atma yang terus menerus merosot.
Sejak awal bahwa banyak ajaran yang tidak memiliki sifat larangan – Jangan – Ojo – Tidak – dsb-nya, namun beriring dengan terbentuknya kelompok-kelompok yang lepas dari ajaran Budhi, maka pada tingkat ajaran yang lebih bawah muncullah ajaran yang bersifat kata negatif atau larangan tadi, contohnya bisa dikatakan awal ajaran adalah Maafkan/Ampuni orang lain, karena kemerosotan maka kata depannya ada kata larangan seperti Jangan Mendendam/membalas (Ojo mbalas dendam).
Sekarang inilah saatnya setiap dari kita agar keluar dari lingkaran laku jahat (dendam dan rakus), jika sudah demikian maka saatnyalah kita ada penyadaran diri tidak karena larangan bahkan ancaman. Karena kalau kita terus menerus dalam lingkaran laku jahat, maka kita telah menciptakan pusaran kesengsaraan/penderitaan yang mendalam bagi Atma diri kita maupun yang ikut terseret didalamnya karena tak berdaya upaya karena memiliki upaya jahat.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Kethek Saranggon”, senantiasa selalu menciptakan suasana saling mengampuni dan memberi, jika saat ini terlibat dalam dendam dan kerakusan, segeralah keluar dari sana, sebelum terseret dan terjadi kehancuran dalam keluarga. Dendam dan kerakusan tak mengenal saudara, sahabat, semuanya bisa dilibas dan menjadi korban. Kita tidak bisa menduga kita menciptakan kerusakan yang parah, jika tidak segera keluar dari sana.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), yang mengajarkan dendam dan kerakusan akan merusak anak/murid secara “dalam”. Efeknya bergenerasi generesi terus menerus, dan ini sangat menyedihkan semua mahluk, sebab untuk kembali atau membalikan, sangatlah sulit dan akan banyak memakan korban.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), fungsi budaya, segala seni, dan tataran kemasyarakat yang ada ritual acara adalah ajaran/pesan dari leluhur kita untuk membangun masyarakat dalam kumpulan dan kegiatan yang baik, agar masyarakat tidak terjebak pada kumpulan yang jahat.
Saya sangat bangga dengan beberapa daerah di Sumatera, dan juga pagelaran wayang di jawa, seni tari, dan kebgiatan budaya, karena memberi dampak kehidupan yang baik. Kebanggaan juga di tujukan kepada Pulau Dewata yang terus kegiatan setiap hari tidak lepas dari budaya kegiatan yang bersifat saling kumpul, seni, kegiatan yang melepaskan berkembangnya kumpulan yang jahat.
Mari kita dukung segala bentuk upaya orang-orang yang senantiasa akan melakukan kegiatan-kegiatan seni budaya. Termasuk budaya Sarasehan – Diskusi harus kita tingkatkan.
14. “Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah”
Artinya: Dalam kesatuan ukuran hidup sentosa, dalam perselisihan hidup sengsara/rusak
Saat terjadi diskusi politik di media televisi, para politikus berteriak-teriak sambil menunjuk lawan bicaranya, dan yang lain ikut mensoroki, terkesan memang inilah yang patut di pertontonkan akan moral sebenarnya manusia Indonesia. Dalam arti jika kita melepaskan semua sekat dan aturan atau formula dalam kehidupan ini (tanpa hukum), maka secara jelas bahwa sikap mental dan kondisi batin yang apa adanya yang menunjuk pada tingkah laku yang berselisih, ketidak puasan, iri, dengki, ingin mengalahkan. Inilah kita, ya.. inilah kita yang belum hidup dalam kesatuan ukuran..
Sehari-hari kita banyak hidup dengan memakai topeng, karena kita masih memelihara prinsip mental yang tidak “Rukun”. Ternyata kita masih dalam tingkatan merusak.
Namun demikian, beberapa cahaya walau kecil bersinar dari orang-orang yang mau tetap Rukun atau hidup dalam berkesatuan ukuran, menjadi secerca harapan bagi terciptanya Ke-Sentosa-an hidup. Apakah anda adalah salah satunya? Apakah anda MAU menjadi bagian darinya?
Jika IYA maka terSENYUMlah dan lepaslah dari segala masalah.
Seorang bijak berbisik pada saya puluhan tahun lalu:
“Aku adalah AKu yang apa adanya, itu sudahlah cukup…
Walaupun tidak ada yang pedulikan aku didunia ini, aku tetap puas, sebab Aku senang bukan karena dunia ini baik adanya, tetapi dunia ini baik adanya karena Aku Senang”.
Perenungan yang baik untuk bisa kita saling tetap RUKUN.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah”, saat terjadi perselisihan, segeralah selesaikan dengan Komunikasi yang efektif dan tetap tersenyum, jangan biarkan perselisihan sampai matahari melewati ubun kita atau matahari melewati telapak kaki kita. Jangan Menunda.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), pendidikan atau transfer pengertian sangat dipentingkan adalah untuk mengajarkan Kesatuan Ukuran dalam konteks tidak mengedapankan maksud-maksud/pengertian dasar, yang cenderung merusak atau agresif brutal.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), selalulah adanya membuka tali silaturami dengan prinsip ajaran Budhi yang saling Asah, Asih, Asuh.
15. “Jer Basuki Mawa Bea”
Artinya: Setiap keberhasilan ada harga yang dibayar.
Dalam dunia bisnis, kata-kata “no free lunch” menjadi slogan, bagi yang mau sukses harus berani bayar harganya… Harga dibayar bisa dari hal apa saja… Ukuran kesuksesan juga tidak ada standarlisasi, masing-masing berbeda. Sehingga harga yang dibayar juga tidak sama, walau standar nilai pencapaian bisa sama.
Kenapa bisa berbeda, karena dari setiap diri berbeda tanggungan, berbeda proses, atau berbeda karma spiritualnya.
Basuki berarti Rahayu, keselamatan, pencapaian pembebasan. Untuk setiap diri yang menuju pada “Basuki”, harus sangat menyadari bahwa tanpa adanya pembayaran: siap terima konswekensi apapun, dan pengorbanan: menyerahkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, maka tanpa “harga itu” akan mengalami kebuntuhan.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Jer Basuki Mawa Bea”, tanpa meninggalkan kepentingan diri dan gengsi maka pencapaian kemanunggalan keluarga. Untuk meninggalkan semua itu (bayar harga) perlu selalu SALING adaptasi, SALING toleransi, SALING orentasi dalam hidup.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), seorang anak atau murid yang tidak menyerahkan diri secara penuh, maka sulit mencapai hasil maximal. Orang tua atau guru harus senantiasa selalu siap untuk memberikan hal baik untuk mencapai ke-basuki-an anak/murid.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), jangan menuntuk pengorbanan orang lain dulu untuk mencapai masyarakat adil makmur, tapi mari setiap dari keluarga/masyarakat kecil berlomba-lomba yang paling cepat memberikan yang terbaik untuk masyarakat agar mencapai adil dan makmur.
17. “Omahe Dhewe, Meksa Luwih Becik Ing Omahe Dhewe”
Artinya: Sebagus-bagusnya rumah lain, masih tetap bagus rumah sendiri.
“Home sweet home” mungkin adalah kalimat yang bisa menandingi falsafah diatas… Pernah saya juga mendapatkan 1 kiriman SMS bahwa kita dengan uang bisa membeli House (Tempat tinggal), tapi belum tentu bisa membeli Home (tempat kehidupan berkembang)..
Rumah sendiri disini adalah kata yang tidak hanya sebagai kata benda, tapi bisa berfungsi sebagai kata kerja, kata tempat, seperti yang bisa bermakna proses kehidupan, juga menunjuk disini dan disitu.
Sehingga sisi makna ini boleh dikatakan kita sering mengkultuskan kehidupan orang lain, tapi lupa bahwa kita sendiri memiliki kehidupan yang harus di kembangkan, kehidupan yang harus terus berproses untuk maju..
Walaupun memang secara materi memang lebih nyaman di rumah sendiri (dalam arti harus dirawat terus), yang mengajarkan kita hendaklah tetap selalu bersyukur dengan apa yang kita punya.
Ini juga penyebab budaya Pulang Kampung pada saat liburan, karena merasa nyaman dan bangga milik sendiri.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Omahe Dhewe, Meksa Luwih Becik Ing Omahe Dhewe”, jika dari salah satu personal di keluarga sudah tidak betah di rumahnya sendiri, itulah tanda-tanda bahaya yang harus di waspadai, karena baik semangat hidup dalam kebersamaan dan ketetapan hati, pastinya ada gangguan. Cara efektif adalah mulai berpikir untuk merawat bersama, bukan menunggu perawatan dari orang lain (pasangan, pembantu), ciptakan kenyamanan dengan mulai hidup bersih.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua / guru haruslah dapat membuat anak-anak/murid nya agar nyaman, sehingga pada saat transfer pengertian dapat terjadi tanpa adanya gangguan lain. Cara yang sederhana adalah selalu membuka diri untuk menyambut mereka.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), walau masing-masing keluarga mempunyai rumah-nya yang terbaik, itu bukan berarti saling menjelekan atau menjatuhkan, tapi hendaklah saling menjadi pelengkap untuk membangun kenyamanan di keluarga masing-masing, sehingga proses kehidupan bersosial dapat terbangun secara sehat. Datang dan kunjungilah saudara kita yang lain secara rutin, itu juga berdampak pada kerinduan akan ‘pulang’ kerumah kita.
18. “Obah Mamah”
Artinya: Ada usaha, akan dapat rejeki (makan)
Siapa bilang mencari uang itu sulit, mempertahankan urusan perut itu sukar? Jika iya, maka boleh jadi karena memang usaha yang tidak dilakukan (tidak mau gerak), atau yang kedua adalah rakus atau tidak pernah puas.
Manusia hanya bisa dijatuhkan oleh dirinya sendiri, maka jika orang mengatakan dia kekurangan maka yang salah adalah dirinya sendiri.
Lalu pertanyaanya muncul, saya sudah berusaha keras, telah banting daging remukan tulang, kerja keras, tapi saya tetap masih kekurangan, saya tetap masih miskin, saya tetap makan secara teratur yaitu sehari makan sehari tidak, sehari makan, sehari tidak.
Padahal katanya kalau ada usaha pasti dapat rejeki (makan).
Mungkin akan di jawab, “Ooohh.. kalau memang bukan rejekinya maka mau di kejar akan tetap tidak dapat”, atau ada juga mengatakan bahwa “anda tidak beruntung, coba lagi”. Semua itu sebagai penghibur agar kita tetap bersemangat.
Usaha tidak hanyalah dari keras tidaknya, lama tidaknya, banting remuk tidaknya, tapi Usaha adalah suatu aktifitas yang harus didukung dengan ketepatan seperti gerak mengunyah (Obah), mengunyah aktifitas yang penuh ketepatan sehingga lidah tidak tergigit sendiri, dan kalau setiap kunyah dan tergigit lidahnya maka usaha yang tidak tepat atau ngawur. Jadi ibarat orang kerja keras tanpa hasil malah sengsara, itu adalah mengunyah dengan lebih banyak tergigit lidahnya.
Untuk bisa tepat, maka belajar dan berlatih, belajar dan berlatih, kemudian belajar dan berlatih.. Demikian juga dalam kehidupan kita ini.
– Dalam kehidupan berumah tangga,”Obah Mamah”, saling mendukung dan memberikan semangat adalah penambahan darah seger terus menerus agar usaha-usaha yang dilakukan secara tepat akan menghasilkan. Pembelajaran diri untuk peningkatan diri adalah sebagai kewajiban untuk/demi usaha yang lebih maximal dan menuju pada sikap mental untuk selalu haus akan ilmu, harus ditanamkan dalam hidup berumah tangga.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid hendaknya senantiasa berusaha apa yang diamanatkan kepada mereka, karena itulah yang akan menjadi pengembangan diri secara utuh.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), usaha-usaha yang kita lakukan haruslah berbentuk atau menjadi suatu karya nyata yang bisa menjadi manfaat bagi orang lain, jika usaha yang bersifat menhancurkan kesatuan masyarakat, nah ini bukanlah maksud falsafah yang dimaksud.
19. “Nek Wis Kecekel Kuncunge, Kecekel Sarimu”
Artinya: Saat terpengang ekornya (kepercayaan), maka terpengang sari jiwamu.
Kemajuan manusia ternyata sangat tergantung pada para pemeran utama (leader) dalam kehidupan kita, demikian halnya kemunduran juga tergantung dari para pemeran utama.
Hal ini dikarenakan bahwa para pengikut (follower), sangat sekali tergantung akan para pemeran utama.
Maka para pengikut yang telah terpegang sari jiwa-nya, akan sangat mudah diarahkan oleh para pemeran utama, secara baik maupun jelek. Ibarat kerbau yang dicucuk hidung, kemana saja akan ikut.
Setiap manusia adalah beperanan utama dalam bidangnya masing-masing, maka hendaklah bahwa memiliki sifat Budhi welas asih, agar bisa membangun, memperbaiki kehidupan manusia lainnya dalam jangkauannya.
Maka sederhananya adalah mari kita berlomba berbuat kebajikan.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Nek Wis Kecekel Kuncunge, Kecekel Sarimu”, jika salah satu pasangan telah percaya, mempercayai, maka hendak dipakai dengan kesadaran kebenaran, bukan untuk dikhianati.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan murid adalah penyembuh bagi anak/murid, jangan sebaliknya menjadi racun/virus yang menghancurkan anak/murid.
Orang tua/guru, juga harus tidak berhenti belajar.. Harus terus senantiasa meningkatkan diri..
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kalau sebagai pemimpin di masyarakat, maka harus bisa menjadi yang adil dan bijak bagi semua golongan, bukan mengadu dan memecah kesatuan bermayarakat.
Hal ini bisa di tempuh dengan tidak menjadi fanatik dan munafik, tapi apa adanya dengan hati nurani yang paling jujur.

20. “Becik Ketitik, Ala Ketara”

Artinya: Kebaikan akan tampak, keburukan akan terlihat.
Pamrih… Adalah kata yang mendasari tindakan dari yang dilakukan oleh kita, segala hal yang akan di lakukan selalu didasari dengan pamrih. Padahal tanpa dasar itu maka segalanya akan tanpak jelas nantinya. Yang berbuat baik berpamrih untuk di hargai, disanjung, diakui, sedangkan yang berbuat keburukan berpamrih agar tidak ketahuan, niatnya disembunyikan, menuduh.
Segala hal yang terjadi atau yang kita lakukan akan senantiasa muncul dan tampak dengan jelas, ibarat baik adalah aroma Durian, ibarat jelek adalah bau bangkai, akan tercium pula.
Maka maksud dari falsafah ini adalah Jika berbuat baik, maka lakukan saja, jangan berpikir/menimbang, jika akan ada perbuatan baik, maka hentikan, janganlah beragumen/dispensasi pada diri untuk memberikan alasan kuat agar melakukan.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Becik Ketitik, Ala Ketara”, Perhatianlah dan dengerkanlah dengan penuh pasangan anda. Janganlah cuek/mengeluh, janganlah suka membantah, tapi hargailah apapun itu, saling mendengerkan.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), Ketulusan orang tua/guru menuntun anak/murid akan terlihat jelas dan tampak dari laku mereka kelak, ibarat merawat tanaman dengan baik, tinggal menunggu bunga dan berbuah. Anak/murid secara serius menghargai dan mengenang orang tua/guru, cara menghargai adalah dengan melakukan apa yang di ajarakan, karena akan tampak jelas hasil dari tuntunan jika dilakukan.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ibarat pepatah bahwa jika tangan kanan berbuat kebajikan maka jangan sampai ketahuan tangan kiri, maka perbuatan baik tidaklah harus karena untuk di hargai dan di pandang, tapi karena memang kita bagian dari satu tubuh yang utuh (seperti tangan).
Berbuat kebajikan sendiri di bagi atas, tidak melakukan hal yang jelek dan berbuatlah hal yang baik.
Semoga Bermanfaat…
Berkah Dalem Gusti.
"Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu"