“Gila!” rutukku sesaat setelah membaca
berita pembakaran Al-Quran yang dilakukan dua pendeta di Amerika, “Ini
gila! Kita harus perang! Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan
caci-maki-ku keluar tanpa kontrol.
“Setan!” aku berteriak sekali lagi.
Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapanku! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Jelas, aku berang mendengar ucapannya.
Emosiku naik pitam. Dadaku turun naik. Dan seketika kutuk dan serapah
membrudal dari mulutku. “Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa
simpati kepadamu! Kau ternyata memang pantas dilaknat dan dimusuhi!
Terkutuklah kau!”
“Bakarlah Al-Quranmu!” katanya sekali
lagi, dengan nada yang lebih tegas. Matanya nyalang. Gigi-giginya
gemertak. Lalu telunjuknya mengarah tepat ke wajahku. “Bakar!” ia
berteriak, “Bakarlah kalau memang selama ini ia hanya menjadi kertas,
bakarlah! Bakarlah!”
Napasku turun naik, mataku memerah, tanganku mengepal. “Terkutuklah kau!” teriakku lantang.
“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.
Tiba-tiba aku tersentak. Tiba-tiba aku
merasa harus menemukan Al-Quran milikku yang entah aku simpan di mana,
sementara Tuan Setan terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah
Al-Quranmu!” Aku terus mencari. Di manakah aku menyimpan Al-Quranku? Aku
membongkar isi lemari, mengeluarkan buku-buku, berkas-berkas, tumpukan
kliping koran, dan kertas-kertas apa saja dari dalam lemari. Di manakah Al-Quranku? Aku
mulai resah mencari di mana Al-Quranku. Aku ke ruang tamu, ke ruang
tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Aku memeriksa ke belakang
lemari, ke sela-sela tumpukan kaset dan CD-CD, ke mana-mana. Tetapi, aku
tak menemukan Al-Quranku! Di manakah aku menyimpan Al-Quranku?
“Bakarlah Al-Quranmu!” sementara Tuan Setan terus-menerus berteriak, “Bakar!”
Aku mulai panik dan resah, kemarahanku mulai pudar, ternyata aku tak bisa menemukan Al-Quranku sendiri.
“Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas usang yang kausia-siakan!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Dadaku berguncang hebat. Pelan-pelan tapi
pasti aku mulai menangis—tetapi aku belum menyerah untuk terus mencari
Al-Quranku. Di mana Al-Quranku? Ada sebuah buku tebal berwarna hijau di
atas lemari tua di kamar belakang, aku kira itulah Al-Quranku, setelah
aku ambil ternyata bukan: Life of Mao. Aku kecewa. Aku terus mencari sambil diam-diam air mataku mulai meluncur di tebing pipi.
“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan
kembali memenuhi ruang kesadaranku. Tetapi kini aku tak bisa marah lagi,
ada perasaan sedih dan kecewa mengaduk-aduk dadaku. Ada sesak yang
tertahan, semantara isak tangis tak sanggup aku tahan.
Akhirnya aku menyerah. Aku tak menemukan Al-Quranku di mana-mana di setiap sudut rumahku!
Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, ia
menyeringai dan menatapku dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah
saat ada orang yang membakar dan menginjak-injak Al-Quran?” Kemudian ia
tertawa, “Lucu! Ini lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri
tak mempedulikannya selama ini?”
Aku terus menangis. Dadaku berguncang.
Tuan Setan tertawa. “Jadi, mengapa kau mesti mengutuk mereka yang
menyia-nyiakan dan merendahkan Al-Quran sementara kau sendiri
melakukannya—diam-diam?” katanya sekali lagi. Ada perih yang mengaliri
dadaku, mendesir gamang ke seluruh persendianku.
Tiba-tiba aku ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah. Barangkali Al-Quranku ada di situ!
Aku bergegas bangkit dari tubuhku yang
tersungkur, aku berlari menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu
menyaksikan tumpukan barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah
kotak tersimpan di sudut ruang gudang, aku segera ingat di situlah aku
menaruh buku-buku bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika aku
hamburkan isi kotak itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… Aku
mendapatkannya: Al-Quranku!
Aku menatap Al-Quranku dengan tatap mata
rasa bersalah. Aku mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari
debu yang melekat di mushaf tua itu. Kemudian aku mendekapnya
erat-erat—mengingat masa kecilku belajar mengeja huruf hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dadaku bergemuruh, air mataku menderas.
Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja
Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?”
nada bicaranya mengejek.
Aku masih mendekap Al-Quranku, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.
“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu
mengatakan bahwa Al-Quran adalah buku yang penuh kebencian, bukankah
mereka hanya menilainya dari perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka
mengira Al-Quran hanyalah kitab omong kosong dan Muhammad yang
membawanya hanya nabi palsu yang berbohong tentang firman, bukankah itu
karena kau—kalian semua—tak pernah sanggup menunjukkan keagungan dan
keindahannya? Kau, kalian semua, harus menjelaskannya!
“Jangankan menunjukkan keindahan dan
keagungan Al-Quran, membacanya pun kau tak! Jangankan menaklukkan musuh
Tuhan sementara menaklukkan dirimu sendiri pun kau tak sanggup! Apa sih
maumu? Al-Quran tak pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian,
Al-Quran tak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk, lalu kenapa kau
terus-menerus melakukannya? Al-Quran selalu mengajarimu kebaikan,
mengapa kau tak pernah mau mengikutinya? Heh, ya, aku baru ingat,
jangankan mengikuti petunjuknya, memahami dan membacanya pun kau tak!
“Lalu kenapa kau harus marah ketika
Al-Quran dibakar? Mengapa kau tak memarahi dirimu sendiri saat kau
menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini bukan semata-mata soal pendeta yang
membakar Al-Quran, ini bukan semata-mata soal pelecehan terhadap
institusi agamamu, ini bukan semata-mata soal permulaan dari sebuah
peperangan antar-agama, ini semua tentang kau yang selama ini
menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang secara laten dan sistematis
menyiapkan api dan bensin dari perilaku burukmu untuk menunggu Al-Quran
dibakar lidah waktu yang meminjam tangan orang-orang yang membenci
agamamu! Mereka tak akan berani membakar Al-Quran, kitab sucimu itu,
kalau saja selama ini kau sanggup menunjukkan nilai-nilai agung yang
dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan yang termaktub dalam teks suci kitab
yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak sanggup menggemakan
Al-Quran amanat nabimu ke segala penjuru, tak sanggup menerima cahayanya
dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ”
Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang
teronggok sia-sia di rak-rak buku tak terbaca, Al-Quran yang diletakkan
di paling bawah tumpukkan buku-buku dan majalah, Al-Quran yang kesepian
tak tersentuh di masjid dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca
dan (di)sia-sia(kan)!
Aku menangis; memanggil kembali hapalan
yang entah hilang kemana, mengeja kembali satu-satu alif-ba-ta yang
semakin asing dari kosakata hidupku. Aku melacaknya dalam ingatanku yang
terlanjur dijejali kebohongan, kebebalan, penipuan, dan
pengkhiatan-pengkhiantan. Di manakah Al-Quran dalam diriku?
“Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu
sendiri!” kata Tuan Setan, “Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah
palsumu, hentikan aksi solidaritas penuh kepentinganmu, hentikan
rutuk-serapah politismu, sebab kenyataannya kau tak pernah mencintai
Al-Quran! Bakarlah!”
Tuan Setan tertawa lepas.
“Maafkan…,” suaraku tiba-tiba pecah
menjelma tangis, “Maafkan…,” lalu aku bergegas pergi dengan Al-Quran
yang kugamit di lengan kananku.
“Bakar saja Al-Quranmu!” teriak Tuan
Setan yang kutinggalkan di gelap ruangan gudang. Lamat-lamat tawanya
masih ku dengar di ujung jalan.
Aku mencari masjid; Aku ke mal, ke pasar,
ke terminal, ke sekolah, ke mana-mana… Aku ingin mencari mushaf-mushaf
Al-Quran yang disia-siakan. Aku ingin membersihkannya dari debu dan
mengajak sebanyak mungkin orang membacanya. Aku masih bergegas dengan
langkah yang galau. Aku ingin mengabarkan keagungan dan keindahan
Al-Quran, tapi bagaimana caranya? Sedangkan aku sendiri tak memahaminya?
Aku ingin menggaungkannya di mana-mana, tapi bagaimana caranya?
Aku terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?
Ya, Tuhan akukah insan yang bertanya-tanya?
Ataukah aku Mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan ke manakah kiranya aku bergulir
Di antara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarah saja kebaikan yang pernah kubuat?
Ya Tuhan, nafasku gemuruh, diburu firmanmu!
[KH. Mustafa Bisri, Tadarus]
Aku terus menangis dalam langkah-langkah
gelisah yang bergegas, haruskah aku melawan semua ini dengan amarah dan
kebencian? Ataukah aku harus menunjukkan kepada mereka semua yang
membenci Al-Quran bahwa sungguh mereka telah keliru? Haruskah aku
kembali marah dan membakar kitab suci mereka di mana-mana, atau akan
lebih baikkah jika aku jawab mereka dengan cinta dan kasih
sayang—meneladani Muhammad dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan
cahaya Al-Quran karena sesungguhnya mereka hanya belum tahu!?
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. Bacalah!” tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi,
“Biarkanlah mereka membakar mushaf sebab Al-Quran bukanlah kertas yang
bisa mereka bakar. Bacalah Al-Quran hingga suaranya terdengar oleh
hatimu, bergema di seluruh ruang kesadaranmu, maka kau tak akan kecewa
mendapati mushaf-mushaf yang terbakar atau ayat-ayat yang teronggok di
ruangan-ruangan tua berdebu buku. Sebab Al-Quran bukanlah mushaf,
Al-Quran adalah semesta, nama di luar kata! Maha benar Allah dengan
segala firman-Nya.”
Aku terdiam mendengar kata-kata Tuan Setan yang terakhir, “Tuan Setan, sebenarnya siapakah kamu? Apa agamamu?”
Ia terkekeh, bahunya berguncang, “Akulah
yang kau lihat dalam tidurmu: berlarian atau terbang atau tertawa tanpa
suara, sesuatu yang lama kau idamkan tetapi lupa kau sapa. Akulah yang
telah sengaja membakar Al-Quranmu!”
Ia terus terkekeh, terbatuk, lalu menghilang