Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
(Bangunlah, bangunlah
Tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau bagaikan pengantin baru)
Langit gelap, tiada satu pun bintang di langit. Hanya baling-baling
berlampu warna-warni milik para pedagang atau anak-anak petani yang
sesekali meluncur di udara. Setelah sampai puncaknya, baling-baling itu
mengikuti tarikan daya gravitasi bumi, berputar perlahan-lahan,
menghiasi langit dan sebentar menggugah kegembiraan, lalu tergeletak di
tanah.
Sesekali pula baling-baling turun bersama gerimis yang masih jatuh di
sini, di alun-alun Temanggung. Tapi gerimis jatuh pada malam 3 April
2015 itu merupakan gerimis di ujung musim penghujan.
Suara tongkeret telah bernyanyian dan pranatamangsa dari alam sudah
memberi petunjuk musim kemarau segera datang. Tanda bagi petani di
Temanggung untuk menanam tembakau.
Semakin banyak orang merapat, samakin banyak tikar-tikar dihamparkan.
Hanya segelintir saja yang berdiri dan masih menggunakan payung, dan
itu di bagian paling jauh dari panggung, barangkali agar mereka dapat
melihat panggung secara lebih leluasa.
Lagu “Lir-ilir” gubahan Sunan Kalijaga yang dinyanyikan Kiai Kanjeng
membuka acara selamatan jelang musim tanam tembakau. “Semoga musim
bagus, semoga harga bagus, dan kesejahteraan mengalir ke rumah-rumah
petani,” begitu suara terdengar dari pengeras suara.
“
Sing ana nang kene cuma atimu karo Gusti Allah… omahmu tinggalen sik, utang-utang tinggalen sik,” kata Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang berada di panggung, yang tak ingin menjadi pusat perhatian. Kemudian ia menambahkan, “
ojo delok aku, eling Gusti Allah, eling Rasullulah, sing jaga koe, sing jaga tanah-tanahmu.”
Di depan layar raksasa, di sisi sebelah kiri panggung, terlihat
seorang ibu berkerudung duduk bersila di atas tikar dengan tiga orang
anak kecil. Mereka saling merapat supaya bisa saling menghangatkan, dan
menatap layar yang menampilkan keadaan di panggung secara langsung.
Wajah-wajah tertunduk, tangan-tangan kekar oleh kerja olah ladang
bersendakap. Sebagian besar dari peserta selamatan ini ialah petani
tembakau yang turun dari desa-desa di gunung Sindoro, Sumbing, dan
Prahu. Tiga gunung yang di lereng-lerengnya tumbuh subur pohon tembakau,
bahkan menghasilkan tembakau srinthil, jenis tembakau yang digunakan
sebagai bumbu kretek dan berharga mahal.
“Tembakau itu biasa disebut
mbako’, dari kata dalam bahasa Arab
baqa’ artinya abadi, tembakau itu pohon keabadian. Teruslah menanam tembakau, suburkan ladang-ladangmu,” kata Cak Nun.
Sorak-sorak terdengar, juga rasa syukur dari mereka yang menghadiri
acara selamatan sekaligus Sinau Kedaulatan bersama Cak Nun dan Kiai
Kanjeng.
Cak Nun mempersilakan di antara peserta untuk menyampaikan uneg-unegnya dan berdialog dengannya.
Subakir, seorang petani tembakau dari desa Lamuk, yang terletak di
lereng tenggara gunung Sumbing, menyampaikan kegelisahannya. Menurutnya,
regulasi yang mengatur tentang hasil buminya tidak berpihak kepada
petani. Pintu impor dibuka, padahal tembakau yang dihasilkan di
ladang-ladang petani di daerahnya merupakan yang terbaik di dunia.
Bahkan dari barang olahan hasil buminya diberi peringatan bisa
“membunuh”.
Cak Nun menempatkan diri ibarat seorang sahabat, ia membesarkan hati
para petani tembakau yang sedang mengalami kesulitan. Kebebanan karena
dari hasil buminya dianggap merusak kesehatan dan di”haram”kan untuk
dikonsumsi oleh kalangan tertentu.
Ia mengatakan jika peraturan sudah tidak adil menempatkan tembakau.
Harusnya, katanya, jika rokok diberi peringatan berbahaya dan bisa
membunuh, barang-barang lain juga diberi peringatan. Gula diberi
peringatan dapat menyebabkan penyakit gula, knalpot juga diberi
peringatan dapat membunuh lebih cepat dari rokok.
Dari pengeras suara Subakir terdengar lagi, ia meminta izin kepada Cak Nun untuk diperbolehkan merokok. “
Emange aku ki Gusti Allah kok ngelarang-ngelarang koe ngerokok?” jawab Cak Nun.
Gelak tawa terdengar.
Cak Nun lantas menjelaskan dalam konteks yang lebih luas dari
persoalan yang dihadapi petani tembakau. Jika semua yang terjadi pada
tembakau karena bangsa-bangsa lain tak suka dengan tembakau yang
dihasilkan bangsa kita.
“
Ora mungkin Gusti Allah nyiptane sesuatu sing elek, sing ana dielek-elekne.” Tembakau yang dihasilkan petani-petani bangsa kita ini yang terbaik di dunia, itu yang membuat
buta (raksasa) Amerika memeranginya dan raksasa-raksasa dari Jakarta takut dan mengeluarkan peraturan yang mencekik leher petani.
Ia meminta Sabrang, anaknya yang dikenal sebagai vokalis Letto,
membantu menerangkan persoalan. Sabrang memberi contoh produk-produk
yang dahulu menjadi keunggulan bangsa Indonesia seperti koprah, lalu
kemudian ada kampanye dari luar yang menyatakan minyak koprah berbahaya
bagi kesehatan. Banyak orang kemudian percaya, dan beralih ke minyak
sawit yang diproduksi bangsa luar. Setelah budidaya koprah itu hancur,
sekarang terbukti sebagai minyak koprah ternyata baik untuk kesehatan.
Cak Nun nenambahkan penjelasan dari segi kesehatan. Menurutnya,
sebenarnya Rasulullah telah membekali ilmu tertinggi tentang kesehatan
manusia dari sabdanya: “makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum
kenyang”.
Sesuatu apa pun itu jika berlebihan memang merusak. Ia bertanya kepada Sabrang “
Sabrang, Sabrang, coba koe mangan sego sak truk...”
Tidak ada siapa pun yang berhak mengatakan baik atau buruk bagi
kesehatan manusia, sebab setiap individu bisa merasakan dan
mempertimbangkan sendiri dirinya sehat atau tidak.
Ia menjelaskan fungsi lidah yang seringkali hanya digunakan sebagai
fungsi kuliner, kegunaan lain lidah sebagai pendeteksi kesehatan
acapkali dilupakan. Dari lidahnya, setiap manusia bisa merasakan makanan
baik atau tidak untuk tubuhnya, jika merasakan tidak enak ya
nggak perlu diteruskan.
Begitu pun bila orang merokok, jika merokoknya sudah membuat lidah
terasa tak enak maka berhentilah dahulu, makan atau minum, kemudian
merokok lagi nanti.
Ia kemudian menawarkan kepada peserta untuk bernyanyi lagi. Tapi
sebuah ide tiba-tiba muncul dari Kiai Mbeling itu, ia menawarkan untuk
menyanyikan lagu daerah Jawa Tengah, Gugur Gunung.
Tapi supaya lebih pas, katanya, satu kata dalam lirik lagu Gugur Gunung diubah “
mulyaning negara” menjadi “
mulyaning para buta” yang menerbitkan aturan-aturan yang mempersulit nasib petani.
Satu nama disebutnya, yang saya lupa mengingat dan sepertinya
pencipta lagu Gugur Gunung, dan meminta maaf atas keusilannya mengganti
lirik kali ini.
Alat-alat musik ditabuh oleh kelompok Kiai Kanjeng. Para petani tembakau mengikuti suara Cak Nun yang bernyanyi.
ayo ayo kanca kanca
ngayahi karnaying praja
kene kene kene kene
gugur gunung tandang gawe
sayuk sayuk rukun bebarengan ro kancane
lila lan legawa kanggo mulyaning “para buta”
siji loro telu papat
maju papat papat
diulang-ulangake mesthi enggal rampunge
holopis kontul baris
holopis kontul baris
Di malam itu, ia terus membesarkan hati, membangkitkan keberanian dan
semangat bekerja lebih keras lagi, juga rasa syukur kepada Sang
Pencipta atas setiap hasil bumi para petani.
Cak Nun meminta untuk siapa saja yang ada di alun-alun untuk berdiri dan bersama membaca Shalawat Indal Qiyam.
Wajah-wajah menunduk, seolah berharap pada kekuatan yang lebih besar,
dan beberapa mata terlihat telah sembap dan tak mampu membendung
airmata.
Ia mencoba menenangkan mereka yang terhanyut dalam khusuk shalawat,
dan memberi harapan: sepuluh tahun lagi akan ada perubahan besar di
negeri ini. Ia lalu mengajak untuk menegadahkan tangan dan berdoa
bersama.
“Ya Allah, engkau tidak main-main menciptakan tumbuh-tumbuhan bagi
kehidupan manusia. Engkau tidak main-main menciptakan dan menumbuhkan
tembakau dan menjadikan rezeki bagi para petani.”
Dan kemudian, “Dan barang siapa mempermainkan tembakau dan nasib
petani, mereka akan mendapat murka-Mu. Barangsiapa bermain-main dengan
nasib orang banyak, meraka akan mendapat azab-Mu.”
sumur : http://komunitaskretek.or.id/