Sama sekali tidak mengherankan, kalau seniman kondang bertaraf internasional asal Solo itu mendadak saja pada suatu malam nongol di tempat kediaman Kang Guru dan tampak mengobrol sampai hampir subuh esok harinya. Yang akan mengherankan justru kalau dalam hidupnya yang hanya satu kali, seniman itu sampai tak pernah menjumpai makhluk yang disebut Kang Guru ini.
Masalahnya sederhana. Kang Guru itu seniman mummi hidup. Untuk beberapa hal barangkali dia malah mirip zombi.
Si seniman sudah masuk lorong-lorong paling terasing di berbagai wilayah nusantara. Irian Jaya sebelah mana, Nias, Kalimantan, Toraja….
Sudah pula dia hidup bersama masyarakat di daerah-daerah terpencil itu. Hidup bersama dalam arti yang sesungguhnya. Dengan masyarakat terpencil; terpencil dalam arti geografis maupun dalam arti konteks nilai.
Banjar-banjar Bali, Asmat di ujung timur, Dayak di kedalaman hutan rimba, Nias yang indah…dan Kang Guru yang antik, pemelihara sekian banyak hal yang kuno-kuno, yang akhirnya justru dirindukan kembali oleh manusia-manusia posmo, post-modern, sesudah mereka mengerti telah terjebak oleh gegap gempita keinginan mereka sendiri sebagai manusia yang merasa modern dan maju, oleh segala yang mereka miliki sendiri.
Kang Guru, menurut si seniman, juga bisa dianggap semacam akik. Terkadang bergelimang klenik, meskipun bisa juga mengendap mutiara. Kang Guru adalah hasil sedimentasi abad-abad nilai, membuang yang fana dan temporer, menyimpan yang baka, yang kekal dan mencenderungi keabadian.
Ah, tapi apa iya. Kok hebat amat si Kang Guru!
***
Seniman kita itu berkisah bahwa seorang Princess, pangeran putri sebuah kerjaan, mengajaknya berziarah ke makam Raja-raja leluhur yang terletak di sebuah bukit.
Sebenarnya, sudah puluhan kali dia berkunjung ke tempat itu. Namun kali ini istimewa, sebab sebagai wong cilik, biasanya dia hanya diperkenankan untuk mendaki dan mendatangi makam-makam tertentu. Kini dia diseret sampai ke puncak: ke makam Raja Agung yang paling dimuliakan oleh semua keturunannya, sebagai pemimpin sejarah dan pemuka spiritual yang paling andal.
“Saya memperoleh dua pelajaran yang amat berharga,” lapornya kepada Kang Guru.
“Pelajaran yang tidak baru…,” Kang Guru Menyahut
“Tidak baru bagaimana?” si seniman bertanya.
“Pelajaran yang kau sudah alami sejak bayi, sudah kau ketahui sejak kanak-kanak, sudah sering kau dengar sejak remaja dan dewasa, sudah setiap kali kau terima dari siapa saja di jalan-jalan, di warung-warung….”
Seniman kita tertawa. “Ya, ya…,” katanya, “Mungkin begitu. Tapi baru sekarang ini menjadi pelajaran bagi saya. Selama ini hanya menjadi pengetahuan yang sayup-sayup di otak saya. Belum mengakar menjadi suatu kesadaran yang sungguh-sungguh. Tetapi bagaimana Kang Guru bisa tahu?”
“Bagaimana saya bisa tidak tahu kalau setiap orang tahu?” jawab Kang Guru, “saya ini orang tua. Dan ilmu orang tua itu sama persis denga ilmu anak-anak….
***
Menurut seniman kita ini, pelajaran yang pertama adalah derajat dalang dan sinden.
“Makam yang letaknya paling tinggi adalah Sang Raja Agung. Setingkat di bawahnya adalah dalang dan sinden yang legendaris pada zamannya. Nama wong agung itu Ki Soponyono dan Nyi Repet,” dia berkisah, “tingkat-tingkat di bawah dalang dan sinden itu baru terletak makam para pembesar kerajaan yang lain, para menteri, seopati, atau penggede dan aristrokrat yang lain. Ini mengandung konsep nilai yang sungguh mengagetlan saya. Betapa tinggi derajat seniman. Betapa amat dihormati peran dan kepribadian para pujangga, undagi, dalang… Sedangkan di zaman modern ini, dalang-dalang dan sinden-sinden dikumpulkan untuk ditatar oleh pamong kelas menengah bawah dari struktur kekuasaan!”
Kang Guru tersenyum. “Bukan begitu cara memandangnya,” dia merespons, “tradisi menatar dalang itu sama sekali tidak mengandung arti bahwa dalang diremehkan di zaman ini. Menurut saya, dalang-dalang sekarang memang rendah hati. Andap asor. Dan itu justru mencerminkan kebesaran kepribadian mereka.”
***
Pelajaran kedua yang dia peroleh adalah soal kebersahajaan. Soal kepolosan. Ketelanjangan alami.
“Saya perhatikan pola arsitektur seluruh makam itu,” kata seniman kita. “Semakin ke atas, bangunannya semakin bersahaja. Semakin lugu, semakin tidak ada ukiran, hiasan atau rumbai-rumbai kemewahan. Semakin ke atas semakin mendekati hakekat alam dan di puncaknya segala sesuatu sungguh-sungguh sumeleh. Makam Raja Agung itu memilih manifestasi wadag yang bahkan bisa disamakan dengan kuburan orang dusun yang keluarganya tak bisa menghiasi makamnya karena tak punya apa-apa.”
Dengan menggebu-gebu seniman kita ini lantas menjelaskan bahwa itulah salah satu perwujudan konsep Pendito Ratu.
“Raja-raja leluhur kita dulu, setidak-tidaknya sebagian, tahu persis kapan saat dia turun tahta untuk mendito. Menjauhkan diri dari kepalsuan dunia. Menyisihkan diri dari keramaian yang penuh takhayul pengetahuan dan pemilikan. Mengasingkan diri dari kemungkinan dikalahkan oleh tipuan dunia. Merelakan lumbung-lumbung harta bendanya. Mengikhlaskan sawah ladang dan hutan belantara pengisi keserakahan perutnya. Mengambil jarak dari riuh rendah berlangsungnya sejarah, agar bisa jernih memahami apa saja yang sia-sia, kemudian memilih yang sejati.”
(Dokumentasi Progress: Kolom Gambang Pesisiran Cak Nun di Harian Suara Merdeka pada 6 Maret 1993)
Raja yang Berani “Mendito”
Minggu, Agustus 02, 2015
/