Selasa, 26 Mei 2015

Halal Maling, Halal Dholim

Dari sisi ideologi lingkaran-lingkaran maiyah menawarkan dan menyebarkan independensi, karena pohon nasionalisme hanya bisa subur di atas tanah independensi. Nasionalisme layu, rontok dan ambruk jika ditanam di atas tanah primordialisme, fanatisme golongan, pembelaan buta kepada kelompok sendiri.
Megawati bukan lagi Ketua PDIP, melainkan pemimpin seluruh rakyat. Kalau dia sangat jenius dan memiliki tingkat kearifan dan kenegarawanan yang mumpuni, silahkan dia pakai kostum dobel - sebagai ketua parpol dan presiden sekaligus. Amin Rais lebih berat lagi: memimpin PAN sangat gampang dibanding memanggul amanat kerakyatan yang kadar otoritasnya di atas level presiden. Apalagi tingkat sakit hati dan sakit jiwa bangsa Indonesia sedemikian kompleksnya. Amin punya mutu mendekati Wali atau Nabi sehingga berani menjadi ketua partai sekaligus ketua MPR, tapi kita orang-orang bodoh se-Indonesia tidak sanggup merumuskan bagaimana menanggapi hal-hal semacam itu.
Teman-teman di DPR pusat maupun daerah begitu terpilih di Pemilu, sudah bukan wakil parpol lagi, melainkan wakil rakyat secara keseluruhan, secara substansi dan aspirasi - sebab Pemilu hanya metoda teknis untuk memilih wakil. Tetapi begitu bertugas di dewan perwakilan, kara 'rakyat' di DPR jangan diganti dengan nama partai. Sehingga tak ada Fraksi PDIP, Fraksi Reformasi atau apapun, sebab hanya ada Perwakilan Rakyat: fraksinya tidak lagi berdasarkan pengelompokan subjek, melainkan berdasarkan identifikasi permasalahan dan tema yang diurus oleh tugas-tugas perwakilan mereka.
Tradisi indenpendensi dalam maiyahan mendidik kebiasaan untuk bersikap independen. Dasarnya dari cara berpikir yang obyektif, diperkuat oleh kebersihan hati (maka selalu dilantunkan lagu-lagu yang sehat), cara memandang persoalan yang adil. Di dalam maiyah tidak diperkenankan (oleh moral bersama) di mana seseorang memandang seseorang pasti benar dan baik karena dia segolongan separtai dan masih Oom sendiri. Atau seseorang yang lain selalu salah dan jelek karena tidak segolongan. Tidak bisa kita menjunjung tokoh yang karena kita takdzim kepadanya maka beliau halal maling, halal dholim, halal melakukan dan omong apa saja dan kita selalu benarkan.
Dulu kita kompak melawan Orde Baru dan selalu ngumpul sangat banyak orang karena kita punya satu musuh bersama, misalnya bernama Suharto. Setelah Suharto jatuh, kita tidak bisa kompak lagi karena sesungguhnya yang kita musuhi ternyata bukan Suharto. Yang kita musuhi adalah peluang-peluang sejarah Suharto kok tidak berada pada diri kita dan golongan kita. Mestinya jangan Suharto yang berkuasa dan kaya, cocoknya saya yang berkuasa dan kaya.
Setiap orang memendam kata-kata semacam itu di lubuk hatinya, dan kemudian menjadi dasar ideologi pendirian partai-partai - sehingga kita kehilangan kekompakan. Setiap kita menjadi Suharto. Kalau kita pribadi nggak mampu jadi Suharto, ya Gus Dur kita Suhartokan, tetangga kita menSuhartokan Megawati atau Amin Rais atau siapa saja - dan masing-masing kita menjadi Golkarnya, Pemuda Pancasilanya, sambil royokan menjadi Tommy-nya.
Kalau tidak mampu jadi Suharto level-level penting, ya yang penting bisa ikut. Tak bisa ngrampok, ya ngemis. Asalkan pandai membungkusnya dengan bahasa reformasi, ditambah ayat-ayat, hadits dan kata-kata mutiara, serta rajin naik haji. Yang kita maksudkan dengan Suharto bukanlah orang jahat: Suharto adalah siapa saja yang tidak sejalan dengan kepentingan pribadi dan golongan kita
"Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu"