Dari sisi ideologi lingkaran-lingkaran maiyah menawarkan dan
menyebarkan independensi, karena pohon nasionalisme hanya bisa subur di
atas tanah independensi. Nasionalisme layu, rontok dan ambruk jika
ditanam di atas tanah primordialisme, fanatisme golongan, pembelaan buta
kepada kelompok sendiri.
Megawati bukan lagi Ketua PDIP,
melainkan pemimpin seluruh rakyat. Kalau dia sangat jenius dan memiliki
tingkat kearifan dan kenegarawanan yang mumpuni, silahkan dia pakai
kostum dobel - sebagai ketua parpol dan presiden sekaligus. Amin Rais
lebih berat lagi: memimpin PAN sangat gampang dibanding memanggul amanat
kerakyatan yang kadar otoritasnya di atas level presiden. Apalagi
tingkat sakit hati dan sakit jiwa bangsa Indonesia sedemikian
kompleksnya. Amin punya mutu mendekati Wali atau Nabi sehingga berani
menjadi ketua partai sekaligus ketua MPR, tapi kita orang-orang bodoh
se-Indonesia tidak sanggup merumuskan bagaimana menanggapi hal-hal
semacam itu.
Teman-teman di DPR pusat maupun daerah begitu
terpilih di Pemilu, sudah bukan wakil parpol lagi, melainkan wakil
rakyat secara keseluruhan, secara substansi dan aspirasi - sebab Pemilu
hanya metoda teknis untuk memilih wakil. Tetapi begitu bertugas di dewan
perwakilan, kara 'rakyat' di DPR jangan diganti dengan nama partai.
Sehingga tak ada Fraksi PDIP, Fraksi Reformasi atau apapun, sebab hanya
ada Perwakilan Rakyat: fraksinya tidak lagi berdasarkan pengelompokan
subjek, melainkan berdasarkan identifikasi permasalahan dan tema yang
diurus oleh tugas-tugas perwakilan mereka.
Tradisi
indenpendensi dalam maiyahan mendidik kebiasaan untuk bersikap
independen. Dasarnya dari cara berpikir yang obyektif, diperkuat oleh
kebersihan hati (maka selalu dilantunkan lagu-lagu yang sehat), cara
memandang persoalan yang adil. Di dalam maiyah tidak diperkenankan (oleh
moral bersama) di mana seseorang memandang seseorang pasti benar dan
baik karena dia segolongan separtai dan masih Oom sendiri. Atau
seseorang yang lain selalu salah dan jelek karena tidak segolongan.
Tidak bisa kita menjunjung tokoh yang karena kita takdzim kepadanya maka
beliau halal maling, halal dholim, halal melakukan dan omong apa saja
dan kita selalu benarkan.
Dulu kita kompak melawan Orde
Baru dan selalu ngumpul sangat banyak orang karena kita punya satu musuh
bersama, misalnya bernama Suharto. Setelah Suharto jatuh, kita tidak
bisa kompak lagi karena sesungguhnya yang kita musuhi ternyata bukan
Suharto. Yang kita musuhi adalah peluang-peluang sejarah Suharto kok
tidak berada pada diri kita dan golongan kita. Mestinya jangan Suharto
yang berkuasa dan kaya, cocoknya saya yang berkuasa dan kaya.
Setiap
orang memendam kata-kata semacam itu di lubuk hatinya, dan kemudian
menjadi dasar ideologi pendirian partai-partai - sehingga kita
kehilangan kekompakan. Setiap kita menjadi Suharto. Kalau kita pribadi
nggak mampu jadi Suharto, ya Gus Dur kita Suhartokan, tetangga kita
menSuhartokan Megawati atau Amin Rais atau siapa saja - dan
masing-masing kita menjadi Golkarnya, Pemuda Pancasilanya, sambil
royokan menjadi Tommy-nya.